Senin, 08 Juni 2015

Kamu, Pagi yang Cerah, dan Belokan di Gang


Hei, bung.

Kini aku menyisihkan sedikit waktuku untuk mengenangmu sambil duduk-duduk di depan jendela. Lewat malam yang hening dan alunan lagu Jepang yang bahkan aku tidak terlalu mengerti maknanya tulisanku tentangmu pun tercipta. Tentang kamu, pagi yang cerah, dan belokan di gang.

Jika pikiranku diibaratkan sebagai siaran televisi agaknya beberapa hari ini kamu sudah tentu jadi siaran ulang yang kuputar tanpa bosan. Mengenangmu kini sudah seperti mengenang hal-hal favoritku: hujan, lembayung, dan ketapang merah muda. Bedanya adalah ketiga hal itu telah kurekam baik-baik dan bahkan kupotret lewat kamera. Mengenang mereka tidak lagi sulit, keindahannya telah kuabadikan. Namun untukmu aku mesti bagaimana?

Wajahmu kini hanya serupa bayang-bayang samar. Ingatanku yang payah ini telah mengaburkan segalanya. Aku tidak punya detail tentangmu, yang aku tahu kala itu kamu sedang menemani kakekmu berolahraga. Olahraga yang beberapa minggu ini sudah alpa dari kegiatanku: jogging. Aku tahu jelas kalau kamu hanya menemani. Tahu kenapa? Selama ini aku tidak pernah melihatmu. Jika ini tentang kakekmu, sudah sering. Aku mengenal kakekmu, bahkan tahu rumahnya. Tapi aku tidak pernah melihatmu, sungguh. Bahkan sekalipun saat sedang jogging. Apa ini cara Tuhan untuk menarikku agar semangat berolahraga lagi ya? Entahlah, aku tidak tahu.

Tentangmu aku hanya ingat beberapa hal: celana olahraga dan kaus oblong hijau. Hi-jau. Warna favoritku? Nah, kalau sudah begini aku bisa apa?

Aku berdiri di dinding gang dan menunggu sepupuku mengeluarkan motor dari garasi. Dengan kerepotan aku menyandang tasku yang kelebihan beban: laptop, bekal, binder, dan segala item wajib bawaan mahasiswa ada di dalam sana. Andai saja ranselku tidak sedang rusak mungkin aku tidak akan seletih itu menyandangnya. Lalu kamu pun menuruni gang bersama kakekmu. Setelah memindai sosokmu beberapa detik aku buru-buru menunduk. Sepatuku yang berdebu kini jadi objek yang lebih menarik. Tapi sudut mataku masih awas mengamatimu ketika kakekmu dan kamu melintas di sampingmu. Jika sebelumnya kalian berjalan bersisian maka kini kakekmu yang memimpin. Atau kamu yang mundur?

Sejujurnya kamu bukan makhluk berkaki dua paling ganteng yang pernah kutemui di muka bumi. Tapi saat itu juga ada dorongan dalam diriku yang menuntutku agar menoleh. Dorongan itu ingin aku merekam jejakmu sebelum kamu lenyap di belokan gang. Dorongan itu ingin aku memandang wajahmu. Entah hanya penasaran atau apa. Jadi itulah yang kulakukan. Menoleh padamu ... dan kamu menoleh padaku. Kita sama-sama menoleh disaat terakhir, satu hal yang belum pernah kualami sebelumnya. Raut wajahmu itu sarat makna yang tidak kumengerti. Mungkin saat itu kita saling meneliti. Namun, hanya beberapa detik kamu pun menghilang. Kamu lenyap ditelan belokan gang.

Jika boleh kuartikan, apakah itu hanya bentuk rasa penasaranmu? Atau apa? Lihatlah pada siapa aku bertanya. Bahkan kamu tidak ada di sampingku saat aku menulis ini. Tapi rasa yang kamu tinggalkan sejak saat itu sudah menghantui kepalaku. Kesal, aku jadi kepingin memutari jalan lagi dipagi hari: jogging. Entah kenapa aku ingin menemukanmu kembali. Bahkan dengan konyolnya aku sering curi-curi pandang ke rumah kakekmu, berharap kamu muncul dan mengenaliku. Menyedihkan, ya?

Setelah kamu lenyap di belokan sepupuku pun muncul. Dia menanyakan apakah aku jadi mampir ke minimarket sebelum pergi menuju kampus. Aku mengiyakan dengan harapan dia membawaku lewat jalan biasa. Jalan yang kamu lewati barusan. Tapi Tuhan punya rencana lain. Entah kenapa kali ini sepupuku itu malah melewati arah yang lain, yang berlawanan. Lalu tahu-tahu kami malah mampir ke kedai alih-alih minimarket pilihanku. Jangan tanya bagaimana kecewanya aku setelah itu. Tapi meskipun begitu disatu sisi tetap ada rasa bahagia yang membuatku tersenyum-senyum sendiri di atas motor.

Empat hari berlalu kamu masih ada di kepalaku, beserta lagu-lagu sendu tentang pertemuan serupa saat itu.

Sejak engkau bertemu lelaki bermata lembut ada yang tersentak dari dalam dadamu
Kau menyendiri duduk dalam gelap
Bersenandung nyanyian kasmaran
Dan tersenyum entah untuk siapa

Iya, entah siapa. Kamu masih berupa sosok asing tanpa nama. Mudah saja jika aku punya secuil keberanian untuk mendatangimu. Tapi aku lebih percaya pada ungkapan yang menyatakan bahwa takdir takkan pernah tertukar, pun jika kamu memang separuh bagianku maka kamu akan kembali padaku tepat pada waktunya. Klise ya? Biarlah, pun aku tak peduli. Sepotong kisah kita dipagi itu juga klise seperti sinetron kacangan. Tapi klise yang satu ini menyenangkan. Jadi kenapa harus pura-pura tidak peduli?

Hei bung, ketika aku merampungkan bagian akhir ceritaku ini di sini sedang hujan. Aku tahu kamu pasti merasakannya juga. Kamu yang di seberang. Jika kamu sedang tidak sibuk, sesekali menepilah ke jendela. Coba pandangi langit malam dan rinai-rinai hujan yang disirami cahaya oranye lampu jalan. Coba kamu dengarkan suara yang terselip di sela-sela hujan itu. Barangkali kamu akan mendengar pesan yang kutitip pada angin malam. Kataku, “Selamat malam, wahai orang asing. Semoga kelak kita berjumpa lagi.”



Salam kenal,


Ruth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES