Senin, 06 Februari 2017

Rumah Ketiga

tulisan-kan-menemukan-pembacanya

Entah sejak kapan tepatnya blog saya—yang awalnya bernama Nurul’s Little World—banting setir dari blog tanpa niche (sebut saja gado-gado) menjadi blog ber-niche. Sejak itu pula saya menghapus atau lebih tepatnya mengembalikan semua postingan selain yang berlabel blogging menjadi draft. Dari seratusan postingan mengerucut sudah menjadi satuan. Ehem. Bahkan jumlah pena saya saja jauh lebih banyak.

Berganti nama, berganti niche, menyewa domain TLD, blogwalking, dan akhirnya memperluas jejaring pertemanan di dunia maya lewat blog pun mulai saya lakoni. Jika dulu para pembaca masih menemukan beragam topik di blog saya, bahkan membaca curahan hati saya … kini itu semua tiada lagi. Tak ada satu postingan pun yang berbau personal. Yah, kemungkinan besar saya bakal lebih dikenali sebagai blogger dengan tema desain dan blogging yang mengisi blognya. Merasa lebih spesial? Anggap saja begini perumpamaannya, jika selama ini saya menjadi dokter umum maka sekarang saya sudah jadi dokter sok spesialis. Jika diibaratkan toko dulu sayalah supermarket berisi barang serba ada, tapi kini isinya hanya barang-barang elektronik saja. *eh

Tapi belakangan saya merasa ada yang hilang. Sentuhan personal itu pun kini saya rindukan. Terlebih fiksi-fiksi rekaan yang pernah datang dari buah pikiran. Jumlahnya sudah puluhan, tapi saya dengan kejamnya malah mengembalikan mereka ke dalam gudang. Padahal, saat saya membaca ulang blog-blog milik penulis kesayangan saya tahu jelas bahwa … saya kangen mereka.

Mungkin desain yang berkaitan erat dengan seni telah jadi bagian dari diri saya sejak masa kanak-kanak. Yah, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan monitor atas nama mengerjakan sebuah desain. Entah itu desain blog atau grafis. Pokoknya saya sangat menikmatinya, hingga akhirnya lupa waktu dan sanggup tidak makan berjam-jam—entah mengapa saya tidak lapar. Saya ingat bahwa ada semacam pepatah yang menyatakan bahwa jika ada hal yang dalam waktu lama bisa kita kerjakan tanpa merasa letih dan bosan, maka itulah dia yang dinamakan passion.

Jadi menyesalkah saya mendirikan blog berdasarkan passion itu? Kenapa rasanya malah ada yang hilang? Apakah ini yang dinamakan cinta? *mulai ngelantur.

Dan jawabannya adalah ... NO. Absolutely a big no. Saya tidak menyesal untuk itu semua, sebab passion yang satu ini pulalah yang menghantarkan saya pada pundi-pundi rupiah. Seperti kata pepatah lagi, milikilah 3 jenis hobi: yang satu untuk membuatmu tetap kreatif, yang satu untuk menghasilkan uang, dan yang satu lagi untuk menjagamu tetap sehat. Well, sejak kuliah secara sempurna saya memiliki ketiganya: menulis, mendesain, serta jogging. So, saat si blog gado-gado akhirnya mengambil niche dari hobi saya ini tentu saya tak menyesal.

Tapi … saya lupa. Lupa bahwa bukan hanya desain yang sanggup membuat saya sampai lupa makan dan sibuk berjam-jam. Menulis pun punya porsi yang sama, namun malah terlupakan. Bukan, bukan menulis curahan hati dan beragam hal. Tapi menulis dalam ruang lingkup sastra. Menulis sesuatu yang pada akhirnya akan berwujud sebagai cerita pendek, novel, puisi, atau sekadar fragmen saja. Saya lupa, hobi yang satu ini juga sudah lengket sejak saya masih belia. Dulu saya kerap jadi pengisi tetap majalah dinding di luar kelas. Kini … saya seakan lupa semuanya. Terkadang menyesal juga kenapa buku-buku berisi tulisan di zaman itu sudah terbang entah ke galaksi mana.

Sebagai seorang blogger yang kerap membahas tentang desain blog dan sebagainya itu tentu saya ingin blog saya tidak sepi, tetap ada pengunjung bahkan klien yang tertarik untuk bekerja sama. Jadi, komentar tentu jadi salah satu aspek penting yang saya harapkan. Namun kemudian saya ingat … semasa jadi blogger gado-gado yang mayoritas tulisannya berisi fiksi saya tak pernah memikirkan komentar dan segala macam aspek tersebut. Belum kenal SEO, domain, blogwalking dan teman-temannya tapi saya enjoy-enjoy saya menulis. Selagi tulisan saya punya rumahnya sendiri untuk bernaung saya sudah bahagia. Setidaknya dia tidak nongkrong dalam folder-folder nan kesepian.

Begitu pula saat saya membaca blog-blog dari penulis favorit saya yang agaknya sudah beberapa bulan ini alpa. Pun mereka yang saya kagumi selalu rajin menerbitkan tulisan-tulisan baru nan manis—yang dengan membacanya saja saya bersyukur pernah berkenalan dengan dunia sastra, lalu jatuh cinta. Ajaibnya lagi tidak selalu setiap postingan mereka dibanjiri komentar oleh para pembaca. Padahal saya tahu benar bahwa mereka telah menelurkan beberapa buku. Tapi … kemudian saya mengerti, pasti ada pembaca-pembaca lain yang mirip saya—si pembaca senyap alias silent reader. Lalu saya pun tahu … setiap tulisan akan menemukan pembacanya masing-masing. Mungkin banyak yang malu-malu atau lupa meninggalkan komentar, atau mungkin tidak sempat, atau malah ... ah … bukankah selalu ada alasan untuk mengatakan tidak? Jadi, anggap sajalah para pembaca senyap ini sebagai penggemar rahasia yang malu-malu meninggalkan kesan tapi berani mengintip akun media sosial si penulis. *ups

Kini saya sadar … penulis pada dasarnya tidak mengharapkan balasan. Kalau kata lagu: hanya memberi tak harap kembali. Sebab menulis bisa jadi media untuk mengekspresikan diri. Selagi terealisasi maka hati pun terasa lebih lega. Oleh karena itu saat membuka kembali draft-draft tulisan kesepian yang sendirian di pojokan saya pun tahu … mereka butuh rumah. Cukup sudah saya gusur karena lebih memilih mengembangkan hobi desain saya. Kini mereka perlu tempat bernaung dari panas dan hujan. *tsah Terdengar aneh tapi benar, saya rasa mereka butuh rumah baru yang lebih layak. Tempat yang benar-benar menggambarkan mereka. Mereka butuh blog tersendiri … dan akhirnya saya pun punya tiga blog dengan niche berbeda. Padahal saya rasa dulu cukup mustahil, tapi akhirnya terjadi juga.

Biarlah Rumah Es dikenal sebagai tempat saya bersosialisasi dan menjual produk digital sendiri. Untuk Ransel Bu Nurul saya akan lebih fokuskan sebagai tempat berbagi informasi yang berkaitan dengan pendidikan (berhubung saya seorang mahasiswa kependidikan)—tak ada yang berkomentar pun tak apa. Sebab yah … setiap tulisan akan menemukan sendiri pembacanya. Mirip saya, yang sering terbang ke blog setiap orang tapi lupa pamit dan berkomentar. Padahal informasi yang saya dapatkan di dalamnya sudah sangat sering membantu. Tapi terbukti kan? Selalu ada pembaca, hanya saja mereka memilih untuk tidak menampakkan diri. Jadi tidak apa-apa, sebab saya hanya ingin berbagi saja. Semoga mereka yang mencari dapat menemukannya dan terbantu. Itu saja, sederhana.

Pun untuk blog ketiga ini, biarlah para pembaca senyap berkelana. Seperti yang saya katakan: saya sudah kepalang rindu. Saya rindu menulis dengan sentuhan personal—mungkin inilah mengapa pada awalnya saya jadi seorang blogger personal. Jadi biarkan saja tulisan di blog ini menemukan jodohnya sendiri. Sebab—sekali lagi—bagi saya menulis adalah media ekspresi diri. Jadi jangan tanyakan lagi mengapa saya membuat blog ketiga. Saya-hanya-ingin-menulis, sesederhana itu saja.

Lagipula kata Pramoedya Ananta Toer:

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”


Jadi biarlah … dengan menulis saya bekerja untuk keabadian. 😃

2 komentar:

  1. Can't agree more...sejak awal ngeblog aku pun benar-benar menuangkan passionku dan whatever I like to write and read :). Sesekali tergoda dengan monetized posts but at the end of the day I'm back to my own liking :)..so, keep up on doing what you love :)

    BalasHapus
  2. Huuuaaa...berkaryalah terus Mbak..ini blogku pakai theme buatanmu lhoh..
    Keren khan?
    *halah narsis* hihihi..
    Sukaaa banget baca blognya mbak Nurul ♥

    BalasHapus

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES