Jumat, 05 Mei 2017

Why I Can’t Say No


Sebulan yang lalu, rumah berpagar merah jambu di ujung jalan itu hanyalah rumah biasa bagiku. Tapi kini agaknya berbeda. Sebab sambil menyeruput kopi susu pun aku masih bisa tersenyum-senyum mengingatnya sampai-sampai Citra meledekku beberapa kali. Ia bahkan sampai terbahak-bahak saat dilihatnya wajahku yang mungkin kini telah bersemu. Gagal sudah uap kopi ini mengelabui, pikirku.

Senja itu, di salah satu sudut kotaku yang tampak kelabu—berkat hujan seminggu—Citra dan aku akhirnya bertemu. Dengan antusias ia memberondongku dengan banyak pertanyaan, bak wartawan yang sudah dikejar tenggat waktu. Mengelak dan mengalihkan pembicaraan mungkin jadi keahlianku, tapi untuk yang satu ini tentu mustahil. Citra masih mengingatnya, janjiku untuk bercerita tentang pria itu—dia, yang dengan melihat punggungnya dari kejauhan saja sudah membuatku rindu.

“Ruth, please, udah ya cengar-cengirnya. Keburu malem. Ampun deh. Jawab aja susah amat.” gerutu Citra sambil menarik ponselku yang ada di atas meja. “Nanti aku kirim pesan aneh nih ke dia.”

“No, Ci!” Jantungku hampir saja berhenti. Citra bukannya tidak bisa berbuat demikian. Dia serius, sebab akulah yang terlalu banyak bercanda kali ini.

Maka wajahku pun semakin lunak, bibirku tersenyum—senyuman yang makin aneh. Dengan hela nafas ringan aku pun menyebutkan namanya.

“Ardit … kak Ardit.” ucapku pelan. Mengucap namanya beserta embel-embel kak selalu memberi sensasi sama—seakan-akan aku tengah berbicara padanya. Sebab dari semua orang yang kukenal di muka bumi ini hanya dia seorang yang kupanggil demikian—itupun karena permintaannya. Bukan tanpa alasan, sebab di lingkungan perkuliahannya memang begitulah lelaki yang sedikit lebih tua dipanggil.

Citra mengernyit, benar saja. “Kak? Kok kayak panggilan ke senior zaman SMA? Emang dia senior kita?”

Aku menggeleng, “Nope. I call him that way by his request too. Di Bandung katanya juniornya manggil gitu. Ya … udah. Nggak masalah juga kan?”

“Sure. Ah … and you should’ve known that the way you call him is cute.”

Aku memutar bola mata dan melempar chips dari atas donat yang masih terhidang di atas meja ke arahnya. Citra tergelak dan menghindar lalu tersenyum simpul.

“Okay, stop. Sekarang sesi kedua … may I know the way he flirt on you? It’s impossible for you to fall in love with someone just because he is handsome, right? And … you’re not in fangirling mode, so … tell me now. What make you fall for him?”

Duh Citra, gadis ini entah benar ditakdirkan sebagai akuntan atau malah wartawan sungguhan. Pertanyaannya seakan-akan sudah tersusun dan disiapkan.

Aku pun menerawang jauh … mengingat hari-hari yang lalu.

Sabtu itu, sama seperti sabtu-sabtu yang lalu … aku mengajar privat di rumah berpagar merah jambu. Ghina dan aku berinteraksi di kamarnya. Kala itu aku mengulang dulu pelajaran minggu lalu.

Kak Ardit, abang tertua Ghina yang saat itu sedang balik ke Dumai sesekali melintas di depan pintu. Salahkan ekor mataku, yang selalu tertuju padanya saat ada pergerakan di depan pintu itu. Tapi … alih-alih berlalu dia malah menyandar di depan balkon sambil mengamatiku yang tengah menerangkan materi pelajaran pada Ghina.

“Ruth.”

“Iya kak?” Jawabku sambil terus menuliskan catatan pada papan tulis kecil di kamar Ghina.

“Nerima murid umur 27 tahun nggak?”

Aku tergelak kecil, masih tak berani mengalihkan pandang. Di luar sana Kak Ardit juga tertawa pada kalimat recehnya. Lalu kembali ke kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi. Kamarnya, yang hanya berbatas dinding dengan kamar Ghina.

Yang aku tahu minggu-minggu berikutnya Kak Ardit semakin sering muncul dengan berbagai cara saat aku berada di sana, sabtu siang.

Terkadang dia menyanyikan lagu-lagu favoritnya sambil memetik gitar di kamar sebelah. Karena berisik Ghina akan menyuruhnya berhenti dan mengancam akan mengadukannya pada ibu mereka. Namun dari kamar sebelah Kak Ardit selalu punya jawaban aneh semacam, “Iya, suara abang jelek, tahu kok. Makanya cariin kakak yang bisa nyanyi dong. Lagu Lost Star aja jadilah.”

Kemudian aku pun menelan ludah, teringat bahwa Kak Ardit pernah menangkap basahku sedang menyanyikan senandung milik Adam Levine—Lost Star—di sela-sela waktu mengajarku. Meski Ghina tak menyukainya, katanya ia lebih suka aku bernyanyi lagu berbahasa Indonesia. Kalau yang Inggris, nggak ngerti, jelasnya.

Lain waktu Kak Ardit masuk ke kamar Ghina sambil membawa cemilan, lalu saat melihatku kebingungan mencari spidol yang entah terselip dimana ia akan mengatakan sesuatu seperti, “Reinkarnasi jadi spidol enak kali ya Ghin, dicariin Bu Ruth terus.” yang biasanya akan ditanggapi Ghina dengan jawaban ala anak kelas 5 SD.

Saat aku tak datang karena ada keperluan, pun pesan dari Ghina mewakilkan.

Buk, kok nggak datang? Tadi Kak Ardit nyariin juga. Bingung Ghina buk, yang dilesin siapa yang nyariin malah siapa.

Dan pada akhirnya … Sabtu itu sambil menunggu Ghina makan siang kami berdiri bersisian di balkon, memandangi area sekitar perumahan yang agak lengang.

“Ruth?”

“Hm?”

“Kata papa cowok kalo nyari pasangan itu harus yang ngerti pendidikan. Aku percaya sih. Mama juga bilang iya-iya aja. Um … kalau kamu gimana?” Kalimat terakhirnya ia ucapkan dengan nada rendah dan pelan.

Aku mematung, sadar arah pembicaraannya. Pun aku tahu apa yang sama-sama kami simpan dalam hati sejak tiga bulan terakhir ini. Sejak enam bulan lalu hingga saat ini nyatanya tak ada yang berubah. Dia masih menjaga jarak, tahu benar bahwa memang itulah yang kubutuhkan. Untuk pembuktian dia mengisyaratkannya lewat cara-cara yang sederhana, hingga Ghina bahkan tak tahu apa motif di balik sikap aneh abangnya itu. Tapi aku tahu, selalu.

“Kak Ardit belum lama kenal Ruth kan? Kakak … yakin?”

Yang kutahu aku tidak bisa langsung bilang iya. Setidaknya pria itu harus tahu dulu siapa yang hendak ia pilih.

“But it’s not about how many years you’ve known about someone, Ruth. It as simply as what your heart say when you see her. I do know so many girls in my life, but what can I do when my heart say it’s you … and not them?”

“And … do you pick that line from the movie that you’ve been watched?” Aku berusaha mencairkan suasana. Aku yakin wajahku sudah merona, tapi kami tetap sama … tak berani untuk saling memandang.

Kak Ardit terkekeh mendengar jawabanku. Aku tahu benar dari sudut mataku wajahnya terlihat agak tegang.

“Really? Oh Ruth, I … I don’t know but … your answer … all of yours, for every single word you’ve said … after all this time … maybe that’s why I fall for you.”

Bum!

And maybe that’s why I can’t say no.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES