Senin, 27 Juni 2016

Telat


Lampion di sepanjang jalan setapak, Für Elise yang sayup-sayup mengalun, tiga meja berisi makanan yang dibuat berderet-deret dan tak ketinggalan selusin gadis sosialita yang terlihat mencolok di tengah-tengah ruangan.

Entah sudah berapa kali aku mencomot potongan brownies yang tersedia di atas meja. Lagi, entah sudah berapa lagu pula yang habis kuputar selama duduk di bangku di sudut taman. Sembari memegangi ponsel dengan tangan kiri dan sepotong brownies di tangan kanan aku melayangkan pandangan pada Elon. Tampaknya dia sibuk dengan salah satu gadis—dari sekian banyak—yang nggak kukenal di pesta ini. Sesekali gadis itu menepuk dada Elon sembari tertawa-tawa.

O-oh, tampaknya meliput seminar yang dipenuhi banyak dosen lebih menarik dibanding duduk-duduk seperti orang tolol di tengah-tengah pesta ini. Aku mendengus jengkel dan melampiaskannya pada brownies di tanganku. Mati kau, brownies dekil!

Dan, oh, apakah aku mendengar seseorang tertawa barusan?

"Lapar ya?"

Sesosok tubuh muncul dari balik tanaman anggur yang menggerumbul sembari tertawa—sudah kubilang. Brownies di kerongkonganku mendadak terjun bebas tanpa aba-aba.

"Uhuk! Ehk, uhuk!"

"Bentar." Sosok tadi buru-buru menyambar segelas minuman bersoda terdekat di meja lalu menyodorkannya padaku.

"Muhk, makh,"—aku menyambarnya dan segera meneguknya seperti orang kesetanan—"Ah ... makasih." kataku kaku, masih dengan gelas di tangan.

"Sama-sama."

Dia lalu duduk di sampingku dan nyengir kuda. "Nyasar ya?"

"Ha?"

"Nyasar."

"Siapa yang nyasar?"

"Kamu." jawabnya dengan nada rendah.

Oh ya, benar juga. Sedari tadi ia memperhatikan penampilanku dengan penuh minat. Nggak mengherankan. Dibandingkan sebagai pakaian pesta, pakaianku malah tampak seperti pakaian khas anak laki-laki saat ke kampus: kemeja kotak-kotak biru-pink, jeans belel, juga sepatu keds bermotif tribal.

Aku mengedikkan bahu, mengalihkan pandangan pada Elon sekali lagi. "Um ... mungkin sih."

Elon dan gadis itu turun ke aula tengah rumah, siap-siap berdansa saat Für Elise mulai tak terdengar. Gadis-gadis sosialita tadi sudah menyingkir. Sebagai gantinya mereka malah cekikikan melihat gestur Elon yang kaku dari balik piano. Wah, mahasiswa dengan nilai tari paling rendah mulai kehilangan kewarasannya gara-gara seorang gadis. Aku menggeleng takjub lalu menaruh gelas di kaki bangku.

Ah ... seharusnya dari awal aku nggak datang ke sini. Sungguh.

Nggak mau lama-lama sakit hati, aku pun berniat hengkang. Ponsel lalu kujejalkan ke dalam ransel miniku dengan terburu-buru.

"Mau kemana?"

Aku bangkit, lalu menunduk rendah dan menatap pria ini dengan wajah datar.

"Kembali ke habitat," Aku memberinya senyum setengah hati yang kelewat dipaksakan. Setelahnya aku bangkit. "Um ... duluan ya."

Aku nggak memerdulikan balasannya dan segera berbalik. Tiga langkah kemudian—sadar karena aku agak tidak sopan—aku malah kembali berbalik dan memasang senyum terbaikku pada pria tadi.

"Makasih, ya."

Dan selepas itu aku lenyap dari pesta seperti brownies yang lenyap ke kerongkongan.

.

.

"Ruth!"

Aku nggak menengadah saat Elon tegak di depan mejaku, menghalangi papan tulis yang isinya mestinya sedang kusalin dengan tenang.

"Ng ... apa?"

Tanganku beralih pada kertas coret-coret dan pura-pura sibuk menuliskan ulang sub bab yang beberapa menit lalu telah dijelaskan oleh dosen.

"Orang ngomong diliat kenapa?"

Aku tertawa hambar, "Orang nggak dibutuhin nggak usah diajak pergi aja kenapa?"

Aku memutarbalikkan kata-katanya sembari menekan-nekan tumpukan buku di atas meja.

"Oh ... gitu?" Nada suaranya naik satu oktaf. "Ya udah, terserah Anda sajalah. Saya nggak mau peduli."

Bam!

Aku meremas penaku dengan geram dan menghentakkannya ke meja. Sontak aku berdiri dan menantang Elon.

"Saya juga nggak peduli sama Anda, bung. Jadi ... jangan datang ke kelas saya lagi." Aku menggertakkan gigi. "Paham?"

Elon melebarkan mulut—antara ingin membalas dan bungkam. Ia menatapku dengan tatapan seolah-olah akulah yang bersalah.

"Nggak masalah. Toh, saya nggak butuh Anda lagi."

Dan sekali lagi, Bam!

Elon balik badan dan keluar dengan wajah berkerut. Aku tertinggal di kelas dengan hati berdarah-darah. Hanya saja ... harga diri menyelamatkanku dari tragedi tangis membabi buta. Alih-alih terisak aku malah lari ke luar kelas dengan kecepatan abnormal. Di depan deretan akasia yang terhampar di samping kantor rektorat aku segera berhenti. Nafasku berpacuan.

Dan entah dari mana dia datang.

"Aku nggak tahu lho kalau kamu atlet." katanya penasaran. Ia lalu menyodorkan sebotol air mineral setelah menunjuk kantin di bangunan bagian selatan kantor Rektorat.

"Baru beli kok, nih."

Aku memandangnya dengan muka masam. "Aku nggak ngerti mau kamu apa."

Lewat mata aku menyelidiknya tajam. Agaknya baru tadi malam kami berjumpa. Lalu kali ini dia muncul lagi seperti seorang penguntit.

"Maksud?" Dia memutar bola mata. "Aku malah yang nggak ngerti maksud kamu barusan apa."

Aku mendengus. "Ya udah. Lupakan."

Aku mengikat tali sepatuku yang agak longgar.

"Dia sepupu aku."

Hm?

Aku mengintipnya dari sela-sela rambutku yang awut-awutan.

"Dia?" Aku terkekeh. "Kamu ngomong apa, sih?"

"Kikan, yang dansa sama teman kamu tadi malam itu."

Aku memutar dudukku lalu bertopang dagu. "Um, terus terus?" sindirku, pura-pura tertarik.

Pria itu memandangku dengan cara yang mengganggu.

"Kamu ... ng ... aku liat cara kamu mandangin teman kamu itu tadi malam. Dan ... kalau kamu mau tau, tadi malam mereka ... jadian di pesta."

Bam! Bam! Bam!

.

.

"Ngapain kamu di sini?"

Aku beku saat suara Elon menerobos dari balik tanaman perdu di belakangku. Biwel serta merta bangkit dan berhadapan dengan Elon.

"Dia cum—"

"Apa peduli Anda?" Aku menyerobot jawaban Biwel, ikut-ikutan berhadapan dengan Elon.

"Sin—"

"Lepas!"

Biwel menangkis tangan Elon yang hendak menyeretku.

"Apa urusan Anda?" Elon menyenggak Biwel dan aku mendorong dadanya dengan satu tangan.

Aku maju dan menjadi pagar di antara mereka berdua. Dengan nanar aku menatap mata Elon. "Pergi!"

"Dengar dia bilang ap—"

"Anda diam. Saya tidak kenal anda. Dan Ruth ... saya ... saya ... ng—"

"Terserah."

Kataku sambil berbalik. Aku nggak mau lama-lama berhadapan dengan orang mac—

"Saya udah mutusin dia, Ruth. Demi ... Anda."

Dan Bam!

Airmataku mulai menggenang.

Biwel menyusulku dan merangkul bahuku, menahan isakku yang hampir muncul dengan tepukan pelan-pelan di sana. Agaknya beberapa hari ini aku sudah berkabung dan mati rasa. Agaknya kata-kata yang keluar dari bibirnya malah kedengaran hampa. Agaknya aku benci padanya dan segala tingkahnya.

Elon ... kamu telat.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES