Minggu, 05 Februari 2017

Figuran


Ketika pertama kali dilihatnya kemeja kotak-kotak biru-merah muda di sebuah tempat perbelanjaan kala itu, Adhara tahu pasti dia mesti memilikinya. Tidak peduli mesti ibunya menganggap kemeja itu agak kekecilan—padahal nyatanya justru lebih longgar. Terlebih warnanya pun tidak terlihat menyolok dan menarik, malah sebaliknya terlihat agak pupus dan lembut. Namun bagi Adhara ada sesuatu yang membuat kemeja itu mesti ia pertahankan, entah mengapa. Belakangan barulah diketahuinya bahwa kemeja itu persis seperti yang pernah dia tuliskan pada salah satu kisah dari sekian banyak kisah manusia fiksinya. Kenyataan yang agaknya baru ia ketahui setelah delapan bulan memiliki kemeja itu. Ah … pantas saja terasa begitu familiar, pikirnya.

Pun begitu pula beberapa tahun lalu, tepat saat ia memiliki teman sekelas yang persis seperti gambaran tokoh manusia fiksi favoritnya—nyaris sempurna, andai saja ia jadi tokoh protagonis wanita di dalamnya. Tapi sepertinya Adhara masih kurang beruntung. Kisahnya bukanlah kisah si nona ceria dan tuan kacamata. Bukan pula si nona berwajah sangar dengan tuan pemetik gitar atau pun kisah manis lainnya. Jika ia berada di sebuah dunia fiksi rekaan tentu kini ia sedang jadi figuran: sekadar penghibur dan pelengkap dalam kisah manusia-manusia lain.

Sore itu … dengan senyum tenang ia menyeruput kopi susu yang ia pesan sambil membaca beranda media sosialnya. Beberapa umpan membuat senyumnya berubah getir. Hatinya mencelos, sebab logika yang ia percaya kadang tidak berjalan dengan semestinya. Pun manusia-manusia fiksi yang ia ciptakan tak pernah lagi jadi kenyataan. Meski ia selalu berharap demikian. Yang ia tahu kini ia masih tetap menjadi figuran, atau malah tanpa peran. Kasihan.

Dulu mungkin Adhara tak terlalu tertarik menyambangi kafe-kafe nan kekinian itu sendirian. Aneh, pikirnya. Tapi sejak lulus dari bangku perkuliahan ia tahu benar bahwa ia telah berubah. Menyambangi berbagai tempat tanpa teman bukan lagi sebuah beban. Sesekali ia membayangkan tempatnya bersandar sebagai latar pada kisah-kisah yang kelak akan ia ciptakan. Lalu dilain waktu ia akan merutuki diri sendiri karena tak juga dapat peran bergengsi untuk kisahnya sendiri. Mungkin aku kurang berkualifikasi, pikirnya.

Jadi sore itu saat dia melihat seseorang—lagi-lagi persis jelmaan manusia fiksinya—ia hanya menertawai dirinya sendiri. Mungkin dia bisa jatuh cinta jika mereka berdua benar ditakdirkan untuk saling mengenal, mengisi kisah satu sama lainnya tanpa tahu bahwa ada akhir cerita manis yang telah ditetapkan.

But … hello! Wake up, Adhara. kamu cuma figuran.

Dia mensugesti diri sendiri, agar tak memupuk harapan kelewat berlebihan. Maka agar tak lama-lama mengkhayal dia pun kembali pada layar ponselnya yang tadi membuatnya tersenyum getir. Semua kisah-kisah manusia fiksinya entah mengapa terasa membahagiakan. Nah, ini yang dikenyataan kenapa terasa memuakkan? Adhara bingung, pasti ada yang salah pada dirinya sehingga bisa membenci kenyataan.

Mungkin ia terlanjur ingin mengingkari satu hal: bahwa ia sedang kesepian. Sebab di keramaian pusat perbelanjaan, ia selalu merasa demikian. Di kafe itu pun ada puluhan orang, tapi ia merasa sendirian, ditinggalkan. Rintik-rintik hujan di awal Januari pun menambah suasana muram. Hatinya sudah kelabu, langit juga abu-abu. Apalagi yang kurang? Titel figuran? Dengan hela nafas ringan jarinya memutari cangkir kopi, matanya memandangi uap yang perlahan menghilang. Persis seperti harapan yang dulu kerap ia rajut pelan-pelan. Namun kini sudah berantakan.

Maka dengan langkah pelan ia pun meninggalkan kursinya. Cukup sudah untuk hari ini, pikirnya. Saat membayar di kasir ia hanya sanggup meninggalkan senyum yang agak dipaksakan. Hatinya agak kacau setelah memeriksa beranda di media sosialnya tadi. Tahu begitu sama sekali tak dibawanya ponsel itu, biang segala kekesalan, awal segala kemelankolisan. Padahal jelas bukan salah gawainya. Hanya ia saja yang terlalu terbawa perasaan, apalagi disaat hujan: saat emosinya berada dititik terendah. Habis sudah, perkara sedikit saja bakal membuatnya sensitif selama berjam-jam.

Setelahnya ia segera keluar dari kafe tersebut. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Mungkin inilah salah satu faktor kenapa ia kerap jadi figuran di saat manusia lainnya telah memainkan banyak peran yang menyenangkan. Kadang kala ia merasa lebih mirip alien dari galaksi lain, hingga tak seorangpun punya waktu melirik wajah datarnya yang membosankan. Jadi jelas sudahlah, mengapa ia tetap jadi figuran. Yah, setidaknya saat itu ia bisa menghibur diri dengan memakai kemeja kotak-kotak favoritnya kemana-mana. Setidaknya dalam pikirannya ia sedang menjadi tokoh rekaannya dan bukannya figuran tanpa kejelasan.

Jadi saat seorang pria berkacamata menyela lift yang telah ia masuki disaat-saat terakhir, sambil berkata, “Maaf.” pada semua orang dia hanya bisa bersikap tidak acuh. Toh ia sedang jadi figuran pada kisah manusia lainnya. Jadi kenapa harus peduli-peduli betul? Bukankah sudah lama ia jadi seorang pemimpi hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti? Maka begitulah jadinya, ia membuang wajah ke samping kanan, pada dinding lift yang terlihat dingin sampai … pria itu mengacungkan kartu mahasiswanya yang telah expired di depannya.

“Punya mbak Adhara, kan? Tadi ketinggalan di coffee shop.”

Agak terkejut, Adhara memindai sosok di depannya sambil mengingat-ingat apakah pria itu sempat dilihatnya dalam coffe shop tadi. Hal pertama yang Adhara tandai adalah suaranya yang renyah. Lalu sepasang mata dengan iris cokelatnya yang berbingkai lensa. Lalu rambutnya yang agak gondrong dan terlihat menawan. Terakhir … senyumnya yang terlihat ramah tanpa mesti dipaksakan. Semua detail itu, nyatanya tak mengingatkannya pada apapun. Tapi inilah dia, jenis pria favoritnya: tuan kacamata nan rupawan.

Inikah tokoh protagonis pria untukku? Pikir Adhara, terlena. Sambil menarik kartu mahasiswanya pelan ia balas tersenyum ramah. Wajah datar tanpa ekspresinya ia buang entah kemana. 

“Thanks. I mean … thanks a lot.” balas Adhara sambil mengangguk pelan, mengisyaratkan terimakasih dan kesopanan.

Pria itu balas mengangguk pelan.

“Mas …?”

“Tirta.”

“Oh, iya. Mas Tirta kerja di coffee shop tadi ya?”

“I wish. Ha-ha, but I can’t. Istri saya pemiliknya mbak, jadi nggak bakal diizinin juga.”

Ha.

Yang Adhara tahu kemudian ia tersenyum hambar. Sekali lagi sadar bahwa ini hanyalah suatu kebetulan. Dan lagi … ia masih menjadi seorang figuran.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES