Minggu, 10 Mei 2020

30 Days of Flash Fiction Challenge | Day 2

Day 2: Lost in the city


"Kenapa di sini sunyi?"

Aku bergumam sambil menyeret langkah pelan-pelan. Pria di sampingku hanya tersenyum simpul sambil mengiringi langkahku. Gang yang kususuri saat ini bukanlah gang sempit nan kotor. Di kotaku mana mungkin tempat seindah ini bisa sepi. Aneh benar. Di depan gang sana sebuah menara beratap abu-abu menjulang tinggi. Sementara di kanan-kiri rerumahan bergaya klasik saling berhimpitan tanpa ada kesan persaingan. Belum lagi tanaman menjalar yang sama sekali tak memberi kesan muram di dinding-dinding bagian luarnya. Satu-dua bangku kayu juga bertengger di sana. Namun tanpa penghuni. Seperti kataku tadi ... sunyi. Sengajakah rumah-rumah di distrik ini dikosongkan hanya demi titel destinasi wisata? Ganjil sekali. Kalau benar begitu mengapa hanya ada kami berdua di sini?

"Hei tuan, bisakah kita kembali ke bandara saja? Aku nggak mau lama-lama di sini." Setengah berteriak aku menghentikan langkah sambil menarik lengan kiri pria tadi. Tak ayal ia pun berhenti. Bukannya merespon, ia malah tersenyum lagi seolah-olah tingkahku barusan wajar. Padahal aku tahu benar harusnya aku sudah dicap tidak sopan. Mau bagaimana lagi, aku tak mengenali tempat ini. Aku juga tak mengenalnya. Entah mengapa aku bersedia ditemani olehnya sejak tadi. Bodoh.

Aku menarik kembali tanganku lalu menyilangkan keduanya di depan dada. Wah, tingkat ketidaksopananku malah naik ke level dua. "Kalau kau kira aku terkesan dengan tempat ini maka jawabanku adalah tidak. Oke? Jadi sekarang ayo kembali ke tempat yang kukenal." gerutuku dengan wajah masam. Entah mengapa pria ini tak menanggapi kekesalanku. Satu-satunya hal yang ia berikan ialah senyuman yang sialnya terlihat menawan. Tunggu, aku nggak akan terperangkap jurus itu.

Lalu tiba-tiba saja ia melangkah lebih dekat sambil mengangkat tangan kanannya hingga berada tepat di samping pipi kiriku. Kaget ... cepat-cepat aku berjongkok sambil menutup kedua mata. Oh, konyol memang. Aku bahkan tak tahu apa tujuan akhir tangan kanannya di pipiku.

Emma!

Terperanjat aku buru-buru membuka mata sambil mengerjap. Entah mengapa langit teduh kota ini tiba-tiba digantikan oleh dinding putih bertuliskan spidol warna-warni. Kesunyian yang ganjil pun ikut lenyap hingga riuh suara manusia mulai kedengaran entah dari arah mana.

"Sudah puas mengembaranya, nak?"

Eh?

Nyonya Fuhrman?

Seketika aku menoleh ke seluruh penjuru hingga akhirnya tersadar bahwa seisi kelas saat ini sedang terbahak-bahak menertawaiku yang baru saja pulang dari kembara. Tak lupa cendera mata berupa liur yang membekas di atas meja.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES