Senin, 11 Mei 2020

30 Days of Flash Fiction Challenge | Day 3

Day 3: "The sky turned purple."


Langit berubah ungu disaat derai tawamu menghadirkan perasaan hangat di dadaku. Mungkin kamu tak akan pernah tahu bahwa senyummu yang konyol itu sejak dulu telah jadi canduku. Sebab disaat kita bersama kamu tak pernah berhenti bicara dan aku tak pernah berhenti mendengarkan. Aku menyukai suaramu sebagaimana kamu menyukai hening yang kerap kuselipkan di sela-sela waktu. Maka tak heran setiap duduk di bangku bioskop ini aku mesti berulang kali mengingatkanmu untuk menyimpan suaramu itu barang satu-dua jam saja. Sebab kamu selalu saja tak kapok menggerutu di sampingku sampai-sampai penonton lainnya acap kali berdeham keras sambil memelototi wajahku. Ah, kamu memang tidak peka.

Saat ini kamu malah sibuk menengadah, terpana pada langit ungu yang berpijar di layar sana. Kamu begitu fokusnya sampai-sampai lupa bahwa seseorang baru saja melempari kepalaku dengan berondong jagung demi mengingatkanmu agar tidak berisik. Entah datang dari bangku mana namun aku tak terlalu ambil pusing. Mereka boleh saja melempari seember berondong jagung ke kepalaku asalkan kamu tak diusik. Entahlah. Bagiku suaramu tak pernah jadi pengganggu, kapan pun itu.

Jadi jangan heran jika suara berisik di belakangku kini kuabaikan demi mendengar renyah tawa yang kamu keluarkan saat adegan lucu itu akhirnya muncul. Sudah kubilang, suaramu adalah bunyi favoritku. Karena itulah aku tak pernah bosan mengunjungi bioskop ini bahkan disaat-saat lelah. Asalkan ada kamu aku tak apa. Asalkan ada kamu ... aku selalu punya alasan untuk merasa hidup.

Duh, kenapa makin bising pula penonton di belakangku ini?

Rian ... please ... berhenti ya? Kamu mesti rela, Rian. Jangan begini terus. Ya?

Aku memutar kepala karena mengenali sayup-sayup suara barusan. Oh benar, ternyata Annisa. Gadis itu menyentuh pundakku sambil meneteskan air mata. Dahiku berkerut. Apa pula yang membuatnya menangis? Toh kami hanya sedang menonton film dan saat ini sedang tidak ribut pula. Maka dengan canggung aku pun memajukan wajahku sedikit agar bisa berbisik padanya tanpa mengganggu penonton lain. Sebab saat ini mereka kelihatannya mulai curi-curi pandang ke arah kami. Oh, terserah. Mereka boleh melempariku kursi jika perlu.

"Kenapa? Kok kamu nangis? Kami nggak lagi berisik kok, Nis." Aku menutup kalimat itu dengan cekikikan kecil. Setahuku Annisa bukan tipe gadis cengeng. Jadi lucu rasanya jika ia mesti repot-repot mengeluarkan air mata hanya karena keberadaan kami di bioskop ini. Namun kelihatannya jawabanku kurang memuaskan sebab dia malah terlihat semakin frustasi. Gadis itu kini mencengkeram bahuku dan menatapku lurus.

"Yan ... besok kita ke makamnya lagi ya?"

"Hah? Maksudnya gimana sih Ni—?"

"Yan ... kamu cinta Kirana kan?"

Aku tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Annisa. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu sementara Kirana tepat berada di sampingku. "Memangnya nggak kelihatan ya?"

Mendengar jawabanku gadis itu pun menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata, "Rian ... merelakan juga bagian dari mencintai. Karena itu ... cobalah relakan yang udah pergi. Mau ya, Rian?"

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES