Senin, 31 Juli 2017

Hujan [Sarang Suara Serak Side Story]


"Di, Di, Di, Di, hujannya makin deras."

Di antara desau angin yang menyertai hujan siang itu suaraku naik satu oktaf. Bukan hanya setengah berteriak, berulang kali juga kutepuk pundak Adi agar dia tahu bahwa ini keadaan darurat. Dia lalu memalingkan kepalanya sedikit ke belakang, sebentar, "Tapi katanya kamu suka hujan-hujanan?"

"Iya, tapi ada laptop sama berkas dari dosen ini. Penting."

Aku sudah tidak peduli apa-apa lagi saat menempel lebih dekat ke punggungnya demi menutup ranselku agar tidak tertembus air hujan. "Adi, laptop." Kali ini suaraku jauh lebih nyaring hingga Adi bahkan sempat tersentak kaget.

"Ma?"

"Apa?"

"Rumahmu masih jauh tau, ini rukonya g—" Deru knalpot motor lain memecah ucapan Adi. Sementara itu laptopku pasti sedang meronta-ronta minta diselamatkan. Peruntunganku buruk sekali diantar oleh Adi yang dari perilakunya juga sudah tertebak jelas bahwa dia bukan tipe yang penuh persiapan. Mungkin jaket hujan jadi hal terakhir di muka bumi yang bakal diingatnya saat pergi ke kampus.

"Nggak dengar."

"Hah?"

"Astaga, Adi."

Sumpah, aku kapok diantar olehnya.

"Em, Ema, ini daerah genteng rukonya pendek-pendek."

Genteng pendek.

Demi saus tartar, kanopi saja tidak ada dalam kamusnya.

"Ke rumah aku ya, Em?"

"Hah?"

Lalu tahu-tahu saja Adi berbelok di perempatan, melewati lampu merah sepi yang terguyur hujan. Sementara di belakang, aku sudah merapalkan mantra semoga Adi tidak salah paham dengan posisiku yang kelewat menempel ke punggungnya. Belum lagi sebelah tanganku melingkar di pinggangnya karena takut. Bisa saja kupeluk ransel dengan kedua tangan, tapi jika tiba-tiba ada polisi tidur atau tikungan tajam bagaimana? Aku sayang laptopku, sungguh. Akan lebih baik jika dia tidak berpikiran bahwa aku sengaja bersandar padanya. Jadi saat motornya mengurangi kecepatan ketika memasuki sebuah kontrakan berkanopi lebar aku buru-buru menarik diri ke belakang. Lalu turun dan segera menaruh laptopku pada bagian teras yang kering. Setelahnya kuperas rambutku sendiri agar tidak terlalu banyak air yang menetes.

"Ma?"

Kini giliran ujung kaosku yang kuperas.

"Ema?"

"Iya?"

"Masuk dulu. Hujannya masih deras." ajaknya di depan pintu yang sudah terbuka.

Dan didetik itu juga nafasku tertahan sepersekian detik di tenggorokan. Ini kali pertama aku bertandang ke kontrakan teman laki-laki. Bukannya tidak percaya pada Adi, hanya saja—

"Kakak aku ada di dalam kok, kalau kamu ng—"

"Enggak gitu kok maksud ak—"

"Hei, eh, Not apa sih kok nggak diajak masuk?" Seorang wanita yang kutebak usianya ada di penghujung dua puluhan muncul dari balik pintu. Aku belum sempat menjelaskan apapun tapi wanita dengan lesung pipi itu buru-buru menarik lembut lenganku, "Yuk masuk dulu."

Aku pun mengikutinya sambil tersenyum sekilas pada Adi sebelum lenyap di belokan menuju tangga.

"Maaf ya, di rumah nggak ada mantel. Rumah kamu jauh pasti ya makanya Adi pulang dulu?" Sambil memilih pakaian serta handuk dari dalam lemari wanita itu mengajakku bicara. Salahkan kemampuan basa-basiku yang buruk dalam menghadapi situasi semacam ini.

"Iya, kak. Dua puluh menit lagi, ke Kulim."

"Oh, pantes. Ya udah ganti baju dulu ya, nanti kalau udah ke bawah aja langsung. Kakak mau ke sebelah dulu beli gorengan." ucapnya tulus sambil mengulurkan seperangkat pakaian dan handuk.

Dengan ekspresi seadanya aku menyambut pemberiannya, "Makasih kak—"

"Adel."

"Kak Adel."

Aku baru hendak memasuki pintu kamar mandi saat Kak Adel berhenti di depan pintu kamarnya, "Dinot nggak bakal bawa cewek kalo kakak nggak ada, kok."

Maksudnya?

"Dia emang nyebelin sih, tapi nggak brengsek."

Tahu-tahu saja aku tersenyum mendengar pernyataan Kak Adel.

Kemudian aku mengganti pakaianku yang sudah basah sepenuhnya dengan celana kain berwarna abu-abu dan sweater jenis turtle neck berwarna hitam. Entah berapa kali aku mesti memastikan bahwa penampilanku baik-baik saja sebelum keluar dari kamar Kak Adel dan menyusuri tangga menuju ruang tengah yang diisi oleh televisi, karpet dan tiga buah sofa bermotif tribal. Jendela ruangan itu dibuat lebar sehingga tanpa lampu pun penerangan yang ada cukup memadai bahkan disaat hujan begini. Kurasa lantai satu kontrakan ini hanya diisi ruang santai, serta dapur dan gudang. Sementara kamar penghuninya ada di lantai dua. Jadi dengan canggung—tentu saja, ini bukan rumahku—aku pun duduk di salah satu sofa yang berada di dekat jendela.

"Ma?"

Di tengah tangga Adi berdiri dengan kaos tanpa lengan dan celana pendek, tangan kirinya masih mengusap-usap rambut dengan handuk. Tapi ... melihatnya aku tiba-tiba saja teringat akan sesuatu.

"Oh ya Di, tas aku tadi dimana ya?"

Bukannya jawaban, Adi malah membalasnya dengan semburan tawa yang lepas sambil mendekat ke tempatku.

"Em, serius kamu nanyain tas?"

"Terus?"

"Wah, nggak punya perasaan."

"Apaan?"

"Enggak." Pria itu menyimpan senyumnya, lalu duduk di sampingku sambil terus mengusap kepalanya dengan handuk. "Nggak ada, kok. Itu tas kamu di kamar aku, depan kipas biar cepat kering. Lagian ... tadi berkas sama laptopnya udah aku cek, nggak kenapa-kenapa. Basah juga eng—"

"Ehem, maaf ganggu ya Not." Sebungkus gorengan dan dua teh panas muncul tanpa aba-aba dari balik sofa. Sembari menaruh keduanya Kak Adel melirik adiknya sekilas sambil mengulum senyum.

"Jadi repot gini ka—"

"Udah, nggak apa-apa. Jangan bilang makasih lagi ya. Simpan buat orang lain aja, ya kan Not?"

"Apa sih kak—"

"Udah ah. Oh ya, jangan ganggu aku di atas ya Not. Kalau ada perlu jangan teriak dari bawah, samperin sendiri ke atas. Oke?"

"Oke, kakak cantik." bukannya Adi, Kak Adel menjawab sendiri pertanyaannya dengan suara gaya chipmunk sambil buru-buru naik ke atas. Melihat kakaknya Adi memutar bola mata sambil menekan dahinya sekilas, seolah-olah tingkah kakaknya sering membuatnya lelah.

"Maklum ya Em, kakak rada cerewet emang." ucapnya kemudian.

Aku mengangguk tanpa suara lalu melemparkan pandang ke luar jendela. Tampaknya hujan tidak akan reda dalam waktu dekat. Oh, sial.

"Kenapa, Em? Pengen pulang ya?"

"Hah? Enggaklah."

Eh?

Sadar ada yang salah saat melihat reaksi Adi aku pun meralatnya. "Eh enggak, maksudnya iya sih pengen pulang. Tapi bukan karena lagi di sini. Tapi karena ... ada tugas kampus buat besok. Mesti cepat-cepat dikerjain gitu, Di, maksudnya."

"Terus?"

"Apanya yang terus?"

"Katanya suka hujan-hujanan, tadi, di tempat Esra."

Aku mengambil cangkir tehku lalu meniupnya pelan sebelum menyeruputnya. "Iya, suka. Tapi ... ah udahlah, ngapain juga dibahas." tandasku cepat, lalu melirik Adi yang sedang asyik mengunyah bakwan.

Setelah kandas sepotong aku lalu kembali membuka suara. "Situ sendiri gimana? Suka hujan nggak? Atau ... sukanya cuma nyinyirin orang waktu lagi nyanyi?"

Sengaja kubalikkan pertanyaan, sekaligus menyindirnya dalam satu tarikan nafas. Sebab agak mengesalkan juga mengingat saat pertama kali bergabung di Sarang Suara Serak Adi menatapku dengan sinis. Konyol rasanya setelah diberitahu oleh Osi bahwa konon wajahku mirip dengan dosen yang pernah mempermalukannya di kampus—dalam versi lebih muda. Jadi saat Adi merasa tersentil dan hanya bisa cengar-cengir tanpa membalas perkataanku tadi aku pun merasa agak puas.

"Enggak, aku nggak suka hujan sih, biasanya."

"Udah ketebak." timpalku sambil menyeruput teh lagi.

"Tapi kalo hari ini ya ... lumayan. Soalnya dari tadi ada yang nemenin."

Mataku teralih dari pusaran air dalam cangkir teh menuju mata cokelat terang milik Adi yang sialnya menatapku tanpa berkedip. Bibirnya yang mengkilap karena terkena minyak dari bakwan membentuk senyuman tipis yang terlihat ragu-ragu. Tanpa kusadari pipiku perlahan menghangat ... uhm, mungkin efek dari uap teh yang menguar tanpa permisi. 

Atau ... ada alasan lain? Karena hujan, barangkali?


* * *


Sarang Suara Serak sebenarnya ingin dijadikan novel atau novelet atau malah cerita bersambung. Tapi karena bagian awalnya masih nyangkut di kepala jadinya dikeluarin aja yang ada dulu. Efek udah lama nggak menulis jadinya begini ... agak aneh. But, yeah, at least I tried. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES