Sabtu, 19 Oktober 2013

Dixie Pip Series: Falling


Urusan kita belum selesai tahu, Pip.

Pada suatu hari yang nggak terlalu cerah banget—tepatnya dua hari setelah Dad mempertemukanku dengan Si Mulut Lebar—dia mengirimiku pesan.

Aku sedang mengunyah kaserol kentang dan akhirnya mesti repot-repot tersedak hingga isi mulutku berlompatan ke atas meja. Untung banget aku sedang sendirian di rumah.

Sambil mengelap meja dengan tisu tanganku yang satu lagi macet di keypad—aku bingung mau membalasnya dengan apa. Lagipula, setelah kejadian itu Dad bahkan nggak berkomentar apa-apa. Kukira hidupku sudah kembali normal. Tapi kayaknya enggak, uh.

Aku mulai menimbang-menimbang untuk mengirimkan balasan seperti: Tapi aku enggak, idiot. Jadi jangan kirimi aku pesan lagi, oke? Atau: Jadi kau mengharapkan kencan kedua, nih?—yang kedengaran genit. Bahkan: Kau bertaruh berapa untuk menjinakkanku?—yang menjijikkan. Seakan-akan ada saja cowok-cowok berandalan yang mau bertaruh demi mengerjaiku. Kayak aku penting banget. Padahal aku nggak penting. Ugh.

Setelah selesai makan siang dan membereskan peralatan makan aku memutuskan untuk keluar rumah. Di seberang rumah sewaan kami ada taman bermain anak-anak. Setelah membeli es-krim cokelat aku duduk di atas ayunan anak-anak dan pura-pura bodoh saat seorang bocah laki-laki berkaus belang-belang memandangi wajahku dengan tampang kebelet pipis.

"Apa? Kau mau pipis di ayunan?"

Dia menekuk wajahnya semakin dalam sampai-sampai kukira dia bakal menangis sebentar lagi. Sial, padahal aku kan cuma bercanda. Aku kan cuma mau numpang main ayunan!

"Baiklah, baiklah, aku mengalah." kataku sambil berdiri dan tegak di belakangnya: mendorong pelan agar ia maju ke arah ayunan. Tapi kayaknya ia sengaja ingin membuatku jengkel dengan tetap memaku kakinya kuat-kuat di tanah.

Aku mendengus dan menyodorkan es-krim padanya, "Bagaimana jika aku memberimu es-krim dan kamu pulang saja, oke?"

Matanya bahkan mulai berkaca-kaca karena menahan tangis. O-oh. Salahku.

"Aku bercanda, sungguh. Ganteng. Aku bercanda. Ini-ini ambil saja es-krimnya dan kamu tidak perlu pulang dan-dan ayunan ini, taman ini, semua punyamu, ya? Aku gelandangan. Setuj—"

"Kemari, Kellan."

Whoa.

Aku buru-buru berbalik dan berhadapan dengan seorang cewek—kuliahan mungkin?—yang menatapku jengkel. Ia menarik bocah itu dan menggendongnya di depan dada. Dari gesturnya sepertinya dia nggak senang melihatku membujuk si bocah, bahkan dengan es-krim? Dan kenapa pula cewek ini mesti cantik? Apa aku pernah bilang kalau aku punya masalah dengan gadis-gadis cantik?

Cewek itu memutar bola mata lalu memandangku dengan tatapan merendahkan. Sudut bibir kirinya tertarik ke atas, menciptakan seringaian meremehkan yang membuatku ingin menonjoknya saat itu juga.

"Apa lihat-lihat?" kataku ketus sambil menandak kesal, tanpa menunggu balasannya aku buru-buru berpaling dan berjalan serampangan menuju jalan keluar taman. Dan ... o-oh.

Landen Reed tahu-tahu saja sudah bersandar di sana dan menyeringai lebar sekali begitu melihat wajahku yang kusut.

"Pip, kau memang menyebalkan dimanapun kau berada, ya?" katanya saat aku melintas di sampingnya.

Aku berhenti dan mengarahkan telunjuk ke wajahnya. "Dan kau selalu bermulut lebar dimanapun kau berada."

Aku kembali berjalan sambil mengomel.

"Kau masih berhutang penjelasan, tahu? Apalagi karena kau menipu publik dengan foto orang lain. Apa kau merasa terlalu buruk rupa sampai-sampai begitu?"

Sial.

Aku melempar es-krim yang sudah meleleh di tanganku ke arahnya. Dan es-krim itu mendarat begitu saja ke kemeja abu-abu miliknya. Oke, apa aku dapat homerun?

"PIP!"

"Ups, kena!"

Aku berlari sekencang-kencangnya, dan dikejar sejadi-jadinya oleh Landen. Dia menyumpahiku di sepanjang jalan seperti cewek sedang PMS. Kalimat-kalimatnya berputar-putar di antara: Kau emang gila, cewek jadi-jadian, kau bukan cewek dan jika aku mendapatkanmu kau bakal menyesal. Lucu banget. Selagi dia begitu aku malah nggak segan-segan balas mengata-ngatainya sambil terus berlari ngos-ngosan. Dan saat aku berlari menuju pintu depan ... takdir pun berkata lain. Kakiku sepertinya menabrak pagar hingga aku kehilangan keseimbangan dan terjerembab di atas bebatuan. Wow. Tamatlah riwayatmu, Dy.

"Oh, ya ampun, Pip? Kau jatuh?" ejek Si Mulut Lebar, dibarengi tawa meledak yang kedengarannya penuh akan kepuasan. Dasar cowok biadab.

"Tutup mulutmu, idiot."

Aku buru-buru bangkit, dan malah diperburuk dengan kondisi jatuh lagi karena sendi-sendi kakiku rasanya mulai reyot dan sakit. Wajahku mulai memerah menahan ngilu dan perihnya luka di lututku yang lecet. Tapi aku kepingin tetap berpenamilan elegan. Sungguh. Aku nggak ingin tampak lemah di depan si idiot itu.

Tuhan, izinkan aku masuk ke rumah dan aku berjanji nggak akan menyumpahi siapa-siapa lagi? Please?

"Dasar menyusahkan."

Aku merinding saat kusadari sepasang tangan tiba-tiba melingkari pinggangku dari belakang. Nafas Landen berhembus tepat di telinga kananku. Dan efek yang terjadi kemudian adalah tubuhku malah gemetaran seperti nenek-nenek yang tertiup angin kencang.

"Pip yang bodoh, mari mempermudah keadaan ya."

Tengkukku menegang dan kakiku lemas saat ia mengangkatku agar tegak. Seumur hidup nggak pernah ada cowok normal yang mau berinteraksi sedekat ini denganku. Kebanyakan ngeri karena aku memang agak nggak normal. Perilakuku agak hancur-hancuran, jadi mereka lebih senang jauh-jauh dariku.

"Oh, ayolah ... nggak usah grogi begitu."

"Sial kau, aku enggak grogi!" Tepisku dengan wajah semakin memerah.

Ia tergelak kecil, "Yah, bisa kulihat."

Aku nggak tahan lagi.

"Biar aku bergerak sendiri!" Teriakku sambil memukul kedua tangannya. Bisa dibilang aku jatuh dengan mulus lagi ke atas bebatuan dan Landen sepertinya terkesiap melihat tingkahku barusan. Aku mesti menahan mulutku agar tidak mengerang seperti Spongebob yang sedang tertusuk serpihan kayu.

Kau kuat, Dy. Ayolah, kau kuat. Biar kutunjukkan caranya bertahan hidup tanpa laki-laki. Aku merangkak seperti tentara saat latihan di bawah kawat berduri menuju teras rumah. Pernah lihat cicak mabuk? Mungkin aku seperti itu.

"Kau .. gila."

"Terimakasih, aku memang gila." balasku saat menyentuh pintu depan. Dengan mengabaikan rasa malu, sakit, ngilu, dan segala macam takdir menyedihkan yang baru datang padaku aku pun mendorong pintu dengan kepalaku—aku nggak mengunci pintu kalau kau mau tahu. Setelah seluruh bagian tubuhku masuk ke pintu, aku memegang pegangan pintu dan memaksa seluruh tubuhku yang menjerit-jerit kesakitan untuk bangkit. Setidaknya setelah itu aku bisa rebah di sofa ... sebelum aku menyadari bahwa satu sosok telah memandangiku ngeri dari atas tangga.

O-oh.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES