Senin, 14 Oktober 2013

Meninggalkan Senja


Oktober, di sela-sela rintik hujan ...

Bene menyalip di antara kerumunan penumpang bis yang memenuhi lorong dengan langkah tersaruk-saruk. Tanpa basa-basi sedikitpun ia lalu melompat turun ketika bis baru mau mulai menepi ke area pedestrian, nyaris terpeleset. Nekat. Seorang ibu yang tengah memeluk plastik belanjaannya di bangku bagian depan malah sewot dan memaki Bene karena tingkahnya tersebut. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah. Bene pun tak mau ambil hati. Begitu kakinya menapak sempurna di aspal, ia segera melirik jam di pergelangan tangannya sesaat.

Nah, sudah hampir senja! pikirnya.

Kini, dengan langkah yang tak lagi tersaruk-saruk ia menyeret langkah menuju warung makan di ujung belokan, beratap kanopi oranye. Senja yang oranye, mentari yang oranye. Hati yang oranye, eh?

Bene menempati bangku panjang yang menyandar tepat ke dinding warung bagian timur. Dengan senyum yang mengembang ia lalu membolak-balik kertas putih berlaminating yang dipenuhi nama-nama menu makanan. Ia menggigit bibirnya begitu menyadari bahwa mantera sihirnya (selalu) bekerja tepat beberapa detik setelah ia menyentuh kertas itu.

"Ben, cumi asam-manis sama teh tarik dingin lagi kan?"

Sempurna.

Gadis itu terkekeh, lalu mengusap kepalanya yang tidak gatal dari balik bandananya yang lembab. Selembab bagian ujung celana jeans belel yang dikenakan pria dengan nampan berisi pesanan makanan yang telah berdiri di hadapannya itu.

"Nggak telat kan?" ucap pria itu, senyumannya yang lebar seakan mampu mengimbangi lebarnya gigi Bene yang tampak saat ia terkekeh seperti barusan.

Dengan gaya malu-malu pria itu lalu menaruh pesanan Bene di meja kemudian segera menyejajarkan dirinya di samping gadis itu. Setelah kedua tangannya dilipat di atas meja, matanya lalu menerawang jauh ke arah cakrawala. Jauh di atas langit yang oranye, senja yang oranye juga lembayungnya.
Bene makan dalam diam. Pandangannya tak jauh-jauh dari lampu jalan yang redup, seonggok cumi dalam piringnya, juga ujung bulu mata pria itu.

Lampu jalan yang redup.

Seonggok cumi.

Ujung bulu matanya.

Hanya tiga objek itu saja. Yah ... memangnya apa lagi yang ia harapkan? Toh selama ini memang selalu begitu ritualnya. Mereka tak pernah makan dalam canda-tawa. Tak juga perbincangan, bahkan selaan sekalipun. Pria itu selalu membiarkan Bene mengisi perut dalam diam seperti Bene membiarkannya menikmati senja dalam diam pula.

Diam yang panjang.

Diam yang mau tak mau harus berakhir juga.

Bene meneguk tetes air terakhir di dasar gelas. Kemudian, sambil meremas tisu ia memandangi lampu jalan yang redup di tepi jalan sana untuk yang kesekian kalinya. Lampu jalan yang bungkuk dan bisu. Lampu jalan yang baginya tampak lebih hidup saat senja mulai lenyap pelan-pelan, persis seperti saat ini. Saat kegelapan membuatnya tampak lebih berharga, saat tak ada lagi senja.

Dan ... seiring dengan lenyapnya senja, maka perlahan-lahan menguap pulalah diam yang tadinya mengambil alih waktu mereka.

Iya, mereka.

Bene dan pria itu.

Pria yang tak lagi bergeming. Pria yang kini mulai berhenti memandangi langit. Pikirannya seakan ditarik kembali dari kembara, lalu ia tersadar oleh kekalahan terbesarnya. Kekalahan yang selalu sama: ia kalah oleh waktu. Ia tahu jelas. Senja yang pergi selalu berarti sama, selalu berujung pada satu hal. Dan gemingnya sukses pecah karena hal itu.

Maka dari itu ia hanya bisa menghitung mundur detik-detik yang tersisa. Lalu melapangkan dada saat gadis di sampingnya akhirnya bangkit, berdehem kecil lalu beringsut di balik punggungnya.
Pria itu mendesah pelan, kepalanya merunduk dalam-dalam. Pahit itu akhirnya buncah juga.

Tuh kan ... pasti begini lagi. Gerutunya dalam hati.

Namun selagi ia sibuk dengan pikirannya, Bene pun kini telah sibuk sendiri di meja kasir yang hanya berjarak kurang dari sepuluh langkah dari mejanya tadi. Sambil merogoh-rogoh isi dompetnya ia melambai pada pria yang akhirnya menoleh padanya itu, "Makasih udah nemanin lagi ya?" ucapnya pelan, tulus. Iris cokelatnya yang tertimpa cahaya lampu tampak bagaikan kolam karamel. Manik-manik di dalamnya bahkan mampu membuat pria itu menahan nafas meski hanya sedetik, lupa pada pahit yang tadi membuatnya sibuk.

Sempat terlongong beberapa saat, ia akhirnya tersentak dikarenakan oleh bunyi gesekan piring yang kelewat berisik di belakangnya, "Eh, iya, Ben." balasnya dengan suara parau. "Hati-hati, ya." ucapnya dengan cengiran lebar. Gadis itu balas tersenyum lebih lebar lalu mengangguk kecil. Ia lalu berbalik dan jalan pelan-pelan melewati meja-meja berisi pengunjung lain yang sibuk bercakap-cakap. Kepergiannya yang sesungguhnya selalu jadi objek menarik di ekor mata pria itu. Gadis itu tahu, hanya saja tak mau tahu. Ia mau pergi dengan tenang saja, seakan semuanya baik-baik saja, meski ia tahu ia tak baik-baik saja. Karena kemudian di sela-sela keriuhan denting sendok dan piring kaca, senyumnya pun perlahan lenyap.

Selalu.

Namun begitu keluar dari warung makan—demi menghibur diri—ia pun menyempatkan matanya untuk memandangi langit yang mulai gelap walau hanya sekejap. Lihat, senja tak lagi bergelayut di sana. Dan rintik-rintik hujan tak lagi turun. Kini hanya tersisa ia dan awan abu-abu, juga rembulan yang mengintip di baliknya. Ini saatnya ia kembali. Ini bukan lagi waktu untuk berbagai hal oranye yang ia sukai.

Bukan lagi untuk senja, bukan juga untuk dia.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES