Senin, 27 Januari 2014

Unresolved Heart


Bongkahan-bongkahan es mencair pelan-pelan, jalanan licin. Dari balik pepohonan walnut yang bungkuk, seorang gadis bermantel cokelat melangkah dengan tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya—begitu melintasi jembatan—kaki kanannya yang terbungkus ugg boot tergelincir di sela balok-balok kayu. Jatuh, terjerembab.

Demi Tuhan, agaknya kini pergelangan kakinya terkilir. Dan tentu saja, kereta kuda Dawson Dunn tak melintasi area ini. Hanya area di sepanjang rawa Munchen Hill-lah yang dilewatinya. Dan—oh, sungguh Julia sudah bersumpah agar jauh-jauh dari rawa itu sejak mantan teman sekamarnya jadi berbeda. Tidak lagi! Lebih baik ia sampai di asrama hingga tengah malam saja daripada berurusan dengan rawa.

"Butuh bantuan?"

Julia menengadah, mau tak mau menyembunyikan senyumnya rapat-rapat saat melihat makhluk yang tengah mengulurkan tangannya pada Julia itu. Ia tak sadar, entah sejak kapan ia diikuti oleh makhluk itu. Namun pelan-pelan selagi ia menarik kakinya keluar dari sela balok-balok kayu, ada kekosongannya yang merambat begitu saja dalam hatinya, menggantikan rasa senangnya yang tadi muncul. Seharusnya ia menyambut tangan itu, tapi kini ia membelot.

Dan suatu saat kau harus kembali padaku, temui aku di tempat biasa. Aku mengunggumu di situ, selalu—sepanjang waktu.

Dan kemudian ada rasa yang seketika membuat suatu bagian dalam diri Julia terasa remuk begitu mengingat kalimat itu lagi. Remuk saat kekosongan itu membuatnya kembali sendu. Wajah itu selalu merapalkan mantera yang sama saat Julia memandangnya. Mantera yang Julia ramu sendiri, tapi ditujukan hanya untuk dia—wajah itu. Dan mantera itu malah berbalik mengutuk Julia, membuatnya merasa tolol. Harusnya ia tidak perlu sesetia itu menunggu makhluk yang tidak pernah menunggunya. Menggantungkan harapan pada makhluk yang tidak pula mengharapkan apa-apa darinya. Mendadak Julie ingin menangis, tapi redam karena kecamuk dalam dirinya.

Gadis itu segera menarik backpack-nya—alih-alih memutar otak untuk mencari jawaban yang setimpal—lalu mengobrak-abrik isinya, menjadikan makhluk di depannya penonton bisu untuk sementara waktu. "Oh, aku lupa!" Julia segera menarik ponsel dari saku backpack lalu mengotak-atiknya, "Hannah akan menjemputku di ... ujung jalan sana."—Julie menunjuk jalan kecil di mulut jembatan—"Lalu kami akan ke kantor kepala desa, urusan surat pawai asrama." bualnya dengan sempurna.

Gadis itu lalu menyandarkan tubuhnya yang kini agak timpang pada selusur, "Kau duluan saja, tidak apa-apa." katanya ringan.

Beberapa detik kemudian, makhluk di depannya mengangguk pelan disertai senyuman. Yakin pada Julie, "Baiklah. Semoga kakimu cepat sembuh. Bye."

Bye, ucap Julie dalam diam.

Begitu makhluk itu lenyap dari pandangan gadis itu merasakan perih pada matanya, berangsur air mata luruh setelahnya. Julie terisak, tak menghiraukan dingin yang mulai membungkus tubuhnya lewat udara musim dingin.

Dan harapan itu selalu membawaku pada ujung jalan tanpa arah, tersesat.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES