Kamis, 27 Februari 2014

Lost


Bab 1

Seekor cacing tanah merayap pelan di atas rerumputan. Warnanya merah menjijikkan dan tubuhnya bergelambir. Lalu perlahan tiga ekor lagi keluar dari dalam lubang 'kejutan' yang dari tadi kupelototi. Demi Tuhan, Hunt!

Aku beringsut dari atas rumput dan buru-buru berlari begitu mencapai pintu depan. Lalu segera berlari menuju kamar Hunt dengan segala sumpah serapahku tentang cacing.

"Hunt!"

Aku menarik kenop pintu kamarnya dan membantingnya tanpa perasaan. Hunt buru-buru memakai T-shirt begitu menyadari kedatanganku yang begitu mendadak. Ia lalu menutup tablet-nya dengan handuk yang berada di dekatnya—dan ia kelihatan salah tingkah. Sangat.

"Bisa kulihat apa yang kau sembu—"

"Tidak, Ju. Sho! sho!" Ia mendorongku dengan satu tangan dan satu tangannya lagi menutup pintu, lebih tepatnya mengunci.

"Hei, apa yang kau sembunyikan di tabletmu, Hunt? Sabina Seghworth?" Semburku penasaran.

Mulutku tiba-tiba dibekap sambil berjalan olehnya. "Hei, Ju, apa yang kau ketahui tentang privasi pria, heh?" ejek Hunt. Ia lalu melepaskan bekapannya sambil mendorongku ke arah jendela dapur. "Kau sudah masuk terlalu jauh, anak cebol." ucapnya sambil mendorong jidatku dengan jari telunjuk. Aku hampir saya terhuyung dan jatuh dari jendela kalau saja Hunter nggak buru-buru menarik rambutku yang dikepang keras-keras ke arahnya. Aku terdiam beberapa saat di dadanya karena rasa sakit di kepalaku.

Sakit banget.

Seketika aku melorot jatuh ke lantai sambil memegangi kulit kepalaku yang berdenyut. Hunt ikut-ikutan berjongkok, tertawa sambil menepuk-nepuk kepalaku—yang buru-buru kutepis kasar. "Kau kasar banget sih!" jeritku sambil mendorongnya ke belakang. Dia berhenti tertawa, terduduk canggung di depanku dengan muka bersalah, "Ju, aku nggak—aku ... kita kan sering bercan—"

"Aku. Nggak. Peduli." kataku sambil bangkit dan buru-buru melangkah keluar dari dapur. Sakitnya memang sebentar, tapi rasa kesalku malah semakin menumpuk. Biasanya aku nggak terlalu peduli jika Hunt menarik rambutku, menjitak, menyikut, mendorong, menarik atau melakukan kekerasan lain yang sebenarnya nggak sakit-sakit amat. Kami sering bertingkah macam itu. Tapi tadi, saat ia menarik rambutku dan kemudian tertawa akhirnya ada satu hal yang mendadak menyadarkanku: aku kan perempuan!

Kenapa Hunt nggak pernah memperlakukanku seperti perempuan?

***

Aku nggak tau ini sudah yang ke berapa kalinya, tapi berapa kali pun kulakukan wajahku tetap saja memerah. Jantungku tetap saja meloncat-loncat di dalam sana. Yah, meskipun yang kulakukan hanyalah bersandar di bahu Wendell. Itu saja. Hei, tapi setidaknya kan aku sudah diperlakukan seperti perempuan
.
Aku menghela nafas lalu duduk tegak dan menenangkan jantungku, "Um, Wendell?"

"Iya?" Wendell menoleh, mata abu-abunya yang teduh membuatku mabuk. Oh.

Aku menahan nafas, lalu buru-buru memeluk pinggangnya dan bersandar di dadanya. Rasanya ... hangat. Dan mendengar detak jantungnya yang ternyata berdetak lebih cepat dariku, mau nggak mau wajahku memanas.

Nafas Wendell tercekat dalam beberapa detik, "He-eh, Ju," Ia memaku dagunya di puncak kepalaku, embusan nafasnya tak beraturan, "aku ... maaf ... aku nggak selamanya ada. Um ... Brenda akhir-akhir ini sering menangis di depan ibunya, Ju, walaupun dia nggak bilang apa-apa tentang kita."
Kayaknya sekarang aku yang bakal menangis, sungguh. Walaupun dari awal aku tahu ini salah tapi kami sama-sama masih terikat. Aku masih nggak bisa melepas Wendell, begitu juga dengannya.

Tapi ... aku nggak mau jadi ... yah, perusak. Lambat laun ini semua bakal berakhir. Aku nggak bisa egois dan menyakiti Brenda lebih lama lagi.

"Jadi ... kapan pernikahan kalian berlangsung?" tanyaku pahit. Sakit saat mengucapkannya. Wendell merangkul pinggangku dan menghembuskan nafas berat. "Um ... sebulan lagi."

Dan tau-tau saja air mataku luruh.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES