Jumat, 25 Juli 2014

Dixie Pip Series: Shocking


Masa lalu, masa depan, atau saat ini, aku akan menemukanmu—jangan cemaskan caranya.

Aku punya cara sendiri, dan suatu hari nanti.

Aku akan menemukanmu. Aku akan menemukanmu — Shani Petroff


.

.

.

.

"Halo, Dy." Cowok itu cengengesan saat ia mengulurkan tangannya yang lengket—berkeringat saat kami berjabat tangan. Aku nggak tahu, apa dia memang punya hobi cengengesan atau dia punya radang mulut lebar stadium akhir.

Memangnya aku peduli?

Aku nggak peduli.

Aku hanya peduli pada omelan Dad tentang liburan musim panas ke California yang sengaja dibatalkan.

Uh, Dad! Padahal aku sudah terlanjur bilang pada semua orang bahkan Danie bahwa nanti aku bakal punya kulit seeksotis cokelat leleh yang membuat liur Danie akan mengalir sederas air keran seperti saat ia sedang diet sebulan yang lalu.

Tapi Dad tiba-tiba saja membatalkannya.

Tapi Dad tiba-tiba saja be—

"Um ... Dixie ... Pip?"


Pip.


"Hey!" Aku memberengut kesal sambil menggebrak meja dan menodongkan sebotol merica ke depan wajahnya dengan gaya menyeramkan. Terserah apa pendapatmu, bagiku begini juga sudah menyeramkan. "Jangan sebut-sebut nama belakangku atau ..."—aku membuka tutup botol merica dan mendekatkannya pada ujung lubang hidungnya—"hidupmu akan jadi jauh lebih pedas daripada merica ini."

Aku menyeringai, "Paham?"

Cowok itu mundur, tapi ia masih saja bisa nyengir. Seolah-olah perangaiku barusan hanyalah iklan sabun yang nggak seram sama sekali. Malah kini ia mengeluarkan tablet dari ranselnya dan segera menulis-nulis sesuatu di sana—masih dengan cengirannya yang kelewat lebar itu. Hah! Sepertinya Dad salah membawa cowok kali ini. Yang ia bawa hanyalah bocah idiot dengan senyum selebar Joker.

"Oke, Dy, kurasa kau punya ganggua—"

"Sialan kau! Aku tidak gi—"

"Tunggu dulu. Aku tidak bilang gila kok, Dy," Ia melirikku sedetik, lalu kembali fokus pada tabletnya. "kau saja yang merasa begitu."

Demi apapun, Dad!

"Dad-mu bilang kau sering bicara sendiri pada anjingmu, umm ... lalu ... keluar rumah dengan piyama lusuh, lalu ... duduk di atas loteng saat malam prom. Lalu ... hujan-hujanan di kebun sekolah, dan ... apa ini?" Cowok itu agak terbelalak karena sesuatu yang ganjil di tabletnya.

Omong-omong, kuharap itu bukan aku.

"... bersendawa keras di acara makan malam keluarga besar? Oh, astaga."

Ha, siapa itu? Aku tidak kenal.

Cowok itu tergelak lalu memandangku dengan tatapan tak terdeskripsikan (bermakna negatif). Aku mau saja sih melemparnya dengan botol merica kalau saja ia tak sempat buka mulut dan spontan membuatku shock dengan tiga kata yang kemudian ia ucapkan.

"—Dyana O'Lexia Parkinson, eh?"

Aku nyaris saja merosot dari kursiku.

Ya ampun.


Ini bencana!


Aku menggertakkan gigi, lalu melipat kedua tanganku di atas meja. Dengan senyuman miring aku menatap cowok idiot itu nanar. Baiklah, memangnya aku bisa ngapain lagi?

"Oke," Aku mendesis seperti orang sakit gigi. "jadi maumu sebenarnya apa sih, Mr. Reed—?"

"Landen."

"Oh, masa bodoh."

Kuucapkan tiga kata terakhir barusan sambil memutar bola mata. Kalau ini memang jadi pertemuan terburuk dalam sejarah pertemuan-terburuk-bersama-Dixie-Pip, maka aku nggak akan segan-segan membuat segalanya jadi jauh lebih buruk baginya.

Lagupula kukira aksiku barusan lumayan keren, buktinya pipi Si Mulut Lebar sempat berkedut sebentar sebelum dia kembali pura-pura nyengir lebar lagi untuk membuktikan bahwa dia bisa menanganiku dengan baik.

"Dengar ya, Pip ..."—dia memasukkan tabletnya kembali ke dalam ransel—"aku nggak mau apa-apa. Dan ... sekalipun aku menginginkan sesuatu, kau nggak memilikinya, kalau kau sadar, sih." Suaranya mengecil di ujung kalimat.

Aku tahu maksud ucapannya, sungguh. Dan aku tersinggung. Terlebih saat ia mengeluarkan selembar foto dari saku kemejanya dan menyodorkan foto itu pelan ke arahku. Di dalamnya ada potret seorang gadis ramping yang sedang berada di tengah padang bunga, rambut cokelatnya yang bergelombang melayang ditiup angin. Senyumnya lembut, selembut tatapan matanya yang teduh di bawah bayang-bayang senja. Yah, aku nggak memiliki satupun item yang ia punya. Aku tahu, dan mendadak rasanya aku ingin menguap seperti kamper didetik ini juga.

Kurasa ... aku sudah nggak punya pilihan.

Maksudku aku ... umm ... well ... menyerah. Oke, aku bakal menyerah. Tapi, akan kulakukan secara terhormat—jika itu memang harus.

Sambil merapikan rokku, aku bangkit dan menatap lurus ke arah Si Mulut Lebar. Setelah kurasa gayaku cukup meyakinkan, aku lalu tersenyum manis. Cukup manis untuk diawetkan menjadi sirup.

"Baiklah, Mr. Reed," tukasku dengan gaya formal, "karena aku nggak memiliki apa yang kau inginkan dan begitu juga sebaliknya, maka kurasa pertemuan ini selesai sampai di sini. Dan ... sungguh menyesal bertemu dengan anda." Kuucapkan kata terakhir sambil membungkuk rendah.

Tanpa menunggu jawaban apapun, aku berbalik dan melangkah dengan gaya ala Danie. Whoa, kalau saja dia tahu bahwa aku menjadikannya panutan untuk sikap belagak terhormat begini, kurasa dia bakal melompat kegirangan.

Tapi alih-alih mempertahankan sikap aku-baik-baik-saja dan aku sangat terhormat, begitu keluar dari restoran bahuku malah merosot. Aku berhenti sebentar di depan sebuah toko perlengkapan olahraga, lalu menyandar di depan etalasenya.

Langit malam di kota ini agaknya suram. Sesuram warna sweater yang melekat di tubuhku. Sesuram warna rokku. Sesuram wajahku yang—

Uh, ponselku bergetar.

Tanpa melihat siapa penelponnya, aku mengangkatnya begitu saja. "Halo?"

Hening.

Aku menunggu selama beberapa detik sebelum bicara lagi. "Asal kau tahu saja ya, lima detik lagi meteor akan menabrak bumi dan aku nggak bisa lama-lama meladeni penelpon bisu sep—"

"Pip ... aku tahu kau belum jauh. Aku akan mengantarmu pulang, oke? Tunggu di sana."


Klik.


Landen.

Benar, oh, ha-ha.

Aku. Akan. Diantar. Cowok.

Dan berada di dekatnya bakal membuatku kumat. Aku nggak yakin dia bisa mengantarkanku dengan selamat. Yah, atau dia nggak bakal sukses menurunkanku di jalanan dengan hidung tanpa darah. Aku tahu, atau barangkali begitulah takdirku.

Baiklah.

Setelah merenung beberapa saat, aku lalu memutuskan untuk kabur. Kayaknya aku kerasukan arwah Usain Bolt. Tahu-tahu saja aku sudah berbelok ke arah stasiun kereta api bawah tanah dan lari sekencang-kencangnya sampai menemukan peron. Begitu ponselku bergetar lagi aku segera mencabut baterainya dan menjejalkannya begitu saja ke dalam saku rokku.

Aku merasa terhina, dan diantar olehnya bukan cara yang baik untuk membuatku merasa lebih baik.

Ini salahku, ini kebohonganku. Tapi ada campur tangan Dad. Dan campur tangan Tuhan, tentu saja.

Tapi mungkin ini nggak akan terjadi kalau saja aku nggak punya sahabat macam Sabina Seghworth—gadis dalam foto itu.

Yah, nggak akan terjadi kalau saja aku nggak iri padanya.

Yang paling penting, nggak akan terjadi kalau saja aku bukan Dixie Pip.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES