Selasa, 19 Agustus 2014

Barista di Balik Meja, Secarik Kertas, dan Kamu


"Nyerah?"

"He-em."

Aku menyeruput cokelat panas, uapnya merayap pelan-pelan di wajah. Kali ini hujan turun tanpa permisi saat Biwel dan aku tengah mencari narasumber berita kami di deretan ruko di pusat kota. Jadi kali ini di sinilah kami, kafe kecil berpenerangan banyak lentera. Dindingnya dicat warna salem.

Biwel mengusap cangkir kopinya, sesekali mencuri pandang pada barista di balik meja. Aku terkekeh sambil menyenggol gelasnya dengan milikku.

"Samperinlah."

"Hah? Kamu gila?" Dia menaikkan satu alisnya.

"Ya terus ngapain kamu ngajak ke sini kalo cuma buat mandangin dia kayak gitu? Hm?"

Biwel melipat kedua tangannya di meja lalu menyuruk di sana. "Nggak, nggak mau. Nggak mau. Nggak mau." Beonya dengan suara teredam.

"Oke, biar aku yang bertindak."

Aku bangkit dan berniat menghampiri si barista manis di balik meja. Namun tangan Biwel cepat-cepat mencekalku. "Nggak, Ruth, please ... oke ... oke ... biar aku aja, ya."

Biwel bangkit pelan-pelan dan mengisyaratkan agar aku kembali duduk. Seperti orang linglung ia mendekat ke arah barista itu. Aku menunduk dan sibuk pada cangkirku.

Lucu.

Baru beberapa waktu lalu dia bilang menyerah, namun hanya dengan sedikit dorongan akhirnya ia pasrah dan kembali pada niatnya. Memang sih aku curiga kenapa ia mesti mengusulkan narasumber kolom profil majalah bulan ini mesti datang dari kalangan pedagang—elektronik pula! Rupanya ia hanya ingin mengumpulkan keberanian demi mendatangi barista favoritnya, gadis di balik konter itu. Dan aku mesti jadi tumbal yang akan menemaninya.

Miris bagaimana beberapa hari lalu aku baru saja patah hati—karena Elon—dan kisah cintaku berantakan karenanya. Hari ini aku malah mesti jadi penolong untuk kisah cinta orang lain. Dengan kondisi begini melihat sepasang manusia di depan mataku saja aku sudah megap-megap. Ini malah Biwel pula. Hidup memang aneh.

Aku pulang duluan ya. Mesti beliin titipan Mikha.

Itu pesanku padanya lewat secarik tisu yang kuhimpit di bawah cangkirnya. Dia membelakangi meja kami, jadi aku tenang-tenang saja pergi tanpa harus kepergok. Di luar kafe aku merogoh ponsel dan mencolokkan earphone pada slotnya. Lagu yang kupilih untuk diputar perdana adalah Officially Missing You milik Tamia.

All I hear is raindrop, falling on a rooftop.

Dari balik etalase mataku menyapu deretan replika gadget yang dipamerkan. Menggiurkan sih, tapi toh gadgetku masih mumpuni untuk dipakai. Lagipula aku bukan penganut aliran gadget update seperti Mikha. Kadang-kadang heran juga melihat gadis sepertinya bisa gila-gilaan masalah gadget. Oh, aku masih sayang kantong. Agaknya aku bakal menderita jika kantongku bolong hanya gara-gara gadget baru. Dan—

Tamia berhenti bersenandung, lalu ponselku bergetar. Dengan satu usapan tergesa-gesa sebuah pesan kubuka, kalau-kalau itu urgen.

Kok pulang Ruth?

Tampaknya Biwel nggak mengecek meja dan hanya memastikan bahwa aku sudah lenyap. Dengan menimbang-nimbang antara kemungkinan satu dan yang lainnya aku pun memutuskan untuk tidak membalas pesannya. Lagipula aku nggak mau mengganggu momen krusialnya hanya karena masalah aku kabur tanpa pamit. Jadi, nggak bijak jika aku lanjut membalas pesannya dan kami malah terlibat dalam adegan balas pesan sementara barista manis itu bengong di depan Biwel.

Di belokan menuju perempatan lampu merah aku menemukan toko yang dipesani Mikha. Toko yang mewah agaknya, lemari-lemari kaca dengan gadget berwarna-warni tersusun di dalamnya. Ornamen bertema gadget tergantung di mana-mana. Banyak pengunjung yang hilir mudik. Dan dengan langkah mantap aku menjejakkan kaki ke dalamnya. Seorang gadis Tionghoa berkaus hitam menyambutku dengan senyuman. Aku mendekatinya sembari merogoh-rogoh ransel. Di suatu tempat dalam ranselku yang sesak ini ada kertas bertuliskan detail nama produk yang dititip Mikha.

"Ada yang bisa dibantu mbak?"

"Iya, bentar ... ng." Aku masih sibuk mengacak-acak isi ranselku yang nggak karuan. Aku bersumpah kertas itu ada di sana. Aduh, sial. Hampir setengah menit aku mencari-carinya hingga seseorang datang dan berdiri di balik punggungku.

"Nyari ini?"

Mataku membulat saat kertas itu disodorkan di depan wajahku. Lalu aku beku di tempat. O-oh, tampaknya kertas itu jatuh saat aku mengeluarkan pena sewaktu ingin menulis pesan di tisu.Aku menoleh pada si pembawa kertas. Dia nyengir melihat wajahku yang kebingungan. Mata dengan iris cokelat terangnya menyipit jenaka, membuatku menyesal telah meninggalkannya di sana.

"Kok kabur sih, Ruth?" tanyanya sambil cengengesan. Dari ekspresinya kukira dia mungkin sudah mendapatkan nomor barista itu. Atau malah mereka sudah janji bertemu lagi esok hari.

Aku nggak tega menampakkan muka sedih. Jadi alih-alih mengiklankan wajah tak berdosa atau terluka atau apalah aku malah tersenyum lalu pelan-pelan melebar hingga gigiku tampak.

"Mau tau?" pancingku dengan nada kekanakan.

Dia mengangguk pelan sambil mengangkat kertasku tinggi-tinggi.
Aku tersenyum tipis lalu menatapnya dalam, sedalam yang pernah kulakukan pada seorang pria. Alasan semacam titipan Mikha semakin mengabur di pikiranku. Kukira aku punya alasan lain yang kusimpan dalam-dalam, jauh ... entah sejak kapan.

Mungkin ... aku cuma nggak ingin membagimu dengan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES