Selasa, 19 Agustus 2014

Foto


"Because some people are meant to fall in love with each other, but not meant to be together."

***

"Dia siapa?"

Aku berhenti menumpuk kardus-kardus di balik pintu. Sekonyong-konyong mataku pun tertumbuk pada selembar foto tua yang ada di tangan Emi. Ah ... Tuhan. Detik itu juga sebongkah es dalam diriku luruh, perlahan-lahan ... hatiku menghangat.

"Sini." Aku membimbing Emi duduk bersisian di samping kardus berisi barang pecah belah. Kemudian aku mengambil foto di tangannya. Tak lama memang, hanya sebentar saja aku sudah membalikkan foto itu dan menaruhnya kembali di tangan Emi sambil tersenyum rapuh.

"Dia itu ... masa laluku, Em." kataku sambil menerawang jauh. Kelewat jauh. Wajah gadis di foto itu kini hanya berupa bayang samar dalam ingatanku.

Dia ... entah sudah berapa lama aku tidak mendengar kabarnya. Seusai menyandang titel magister dia seakan-akan lenyap dari bumi. Aku bahkan tidak menemukan jejaknya di jejaring sosial mana pun. Yang kutahu pada detik ini dia masih menghirup udara yang sama denganku.

Di sampingku Emi bergerak tak nyaman. Foto di tangannya sudah beralih ke atas lantai. Bahu Emi yang melorot cukup menunjukkan suasana hatinya. Aku merangkul kepalanya untuk kusandarkan di bahu.

"Mantan?" tanya Emi lagi dengan suara lirih. Dia memuntir-muntir cincin di kelingkingnya lamat-lamat. Terganggu, aku menyentuh jari-jari mungilnya. Kugenggam erat, berharap Emi tak akan berpikiran untuk melepas cincinnya hingga kapan pun.

"Bukan, Em."

Kami bertatapan. Mata Emi memancarkan luka. Binar-binar kebahagiaan yang tadinya ada pelan-pelan lenyap dari sana. Aku menyesal telah membawa foto itu di dalam kardus. Menyesal masih membawa bayang-bayang gadis itu hingga ke rumah baru kami. Tapi ... sejujurnya aku tidak sanggup meninggalkan satu-satunya kenangan tentangnya yang kupunya. Tidak setelah ia membuatku terpingkal-pingkal. Tidak setelah malam-malam panjang yang dihabiskan dengan berbalas pesan. Tidak setelah obrolan yang berakhir dengan perang mulut di kafe kecil kala itu. Tidak ... setelah aku kehilangannya.

"Lantas?"

Aku terdiam. Pikiranku merayap ke masa lalu. Saat-saat di mana aku masih bisa melihat rambut ikalnya yang berantakan tertiup angin. Dia ... tidak pernah jadi kekasihku. Pun, aku belum sempat mengatakan perasaanku padanya karena terlalu takut. Yang kutahu ia menghindariku dibeberapa bulan menjelang saat-saat komunikasi terakhir kami. Yang kutahu ... sejak itu dia sulit dijangkau. Memahaminya sama sulitnya dengan menegakkan benang basah.

"Teman, hanya teman." ungkapku pahit.

Emi mendongak dan menatapku lurus. Ia semacam mencari-cari kebenaran lewat mataku. Aku tidak bisa menyalahkannya. Dimasa penjajakan dulu pun ia tahu kalau aku belum benar-benar berpindah hati dari seseorang. Dan kini ... dia tahu siapa gadis itu.

"Masih ada perasaan?"

Bam!

Aku menunduk dan memilih untuk memandangi cincin kawin kami. Pertanyaan semacam ini tidak bisa kujawab dengan anteng, tidak pula dengan dusta. Sedari awal aku sudah berkomitmen untuk jujur pada Emi. Entah gadis mana lagi di dunia ini yang bisa sabar menerimaku seperti Emi. Dan Emi pun sudah kujadikan yang terakhir. Aku tidak bisa menyia-nyiakannya. Tidak, tidak akan. Aku sudah berjanji pada Tuhan untuk mencintainya selama jantungku masih berdetak di dalam sana.

Namun mata Emi berkaca-kaca, lengannya bergetar. Di detik berikutnya Emi memelukku dan terisak. Dan di sela-sela tangis ia pun menyebutkan satu pertanyaan yang membuatku ikut terluka sepertinya.

"Tapi ... kenapa?"

Aku balas memeluk Emi erat, membaui wangi krisan yang menguar dari tubuhnya. Wangi ... yang selalu kusuka dari Emi.

Karena ... dia hanya ada satu di dunia ini, Em.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES