Minggu, 23 November 2014

Dixie Pip Series: One Gloomy Day


Namaku, Pip, ralat, Dixie. Dixie Pip.

Umurku 16 tahun dan aku nggak punya siapa-siapa selain Dad. Aku serius, tahu. Kebetulan Dad juga agak kolot—atau cemas?—karena kebetulan beberapa bulan belakangan ini Dad sedang getol-getolnya mencarikanku pacar. Aku sering mengeluh kalau umurku masih muda, dan, well, seingatku perjodohan sudah musnah dizaman Jura? Atau Es? Atau ... memangnya itu penting?

Dad selalu beralasan bahwa sebaiknya aku punya pacar. Jadi jika Dad sudah nggak ada aku nggak bakal kesepian. Minimal pacar, maksimal suami. Ewh. Kayak aku sudah nggak muda lagi saja. Jadi ... ya, terhadap semua keputusan Dad aku hanya bisa setuju-setuju saja sambil menendang cowok-cowok yang Dad pertemukan denganku jauh-jauh. Mungkin yang paling parah aku pernah menonjok hidung seseorang sampai berdarah karena ia mulai mesum saat ingin mengantarkanku pulang.

Hanya Sabina yang mengerti bahwa aku memang luar biasa gerah pada cowok-cowok. Iya, Sabina yang fotonya kujadikan avatar disalah satu situs. Dan kebetulan si idiot sadar bahwa aku menipu. Asal tahu saja, Sabina memang cakep. Berada di sampingnya kadang-kadang membuatku agak rendah diri karena dia begitu cakep. Sayangnya dia baik, dan tidak sombong. Dan aku ... tidak menarik. Dan aku lelah.

Sama lelahnya seperti saat kulihat Sabina berdiri di atas tangga, bersama Dad yang muncul setelahnya. Aku sadar mereka bergidik melihat keadaanku yang mengenaskan. Ngomong-ngomong ... ini kan liburan, kenapa aku malah cari sial?

Keesokan harinya aku terbangun dengan badan pegal-pegal dan perban dibeberapa bagian tubuhku. Lalu dihadiahi pemandangan yang agak menyilaukan seperti: Landen dan Sabina duduk bersisian di sofa dengan tangan Landen merangkul bahu Sabina.

Kalian kira itu romantis?

Aku menghela nafas berat sambil turun pelan-pelan dari sofa. Diam-diam berpikir kenapa bisa dalam semalam mereka dekat seperti itu selama menungguiku sadar. Setelah sampai di teras aku berselonjor dan memandang langit kebiruan.

"Aku ingin kembali ke Broadhill, Mum. Aku ... ingin jadi Dixie Pip yang mempreteli barang-barang bekas. Bukannya berlibur ke tempat yang bahkan nggak kuingin begini." kataku pada udara pagi, kataku pada embun di dedaunan. Kataku pada diriku sendiri. Kayaknya aku bakal menangis kalau terus begini.

"Hei, terimakasih ya?"

Landen, lagi, duduk di sebelahku dan ikut-ikutan berselonjor. Entah sejak kapan dia menguntitku di belakang. Aku ingin mencibirnya kalau saja aku nggak ingat janjiku. Jadi aku hanya menjawabnya dingin, "Apa yang terimakasih?"

Landen tersenyum simpul.

"Sabina." katanya dengan bahagia.

"Kalau saja kau nggak kesepian di sini, ayahmu pasti nggak akan memintanya datang."

Oh.

"Dan kalau dia nggak datang aku pasti nggak sadar kalau gadis di foto itu nyata. Dan dia temanmu ternyata. Dan di—"

"Tutup mulut, aku capek mendengarmu bicara." Sambil mengatakan itu aku bangkit, lalu membanting pintu depan keras-keras setelah masuk.

* * *

"Dixie Pip?"

"Oh, ayolah Dad. Aku bisa naik pesawat sendiri. Atau bersama Sabina." rengekku sambil memasukkan piyama ke dalam koper.

Sementara itu Sabina sedang mengintipku dari luar. Dia bingung aku nggak memberitahunya apapun. Kenapa aku marah, kenapa aku sedih, kenapa aku ngotot, kenapa aku jatuh, kenapa aku gila.

"Ini kota yang indah, sayang. Ayah hanya belum sempat menyuruh Landen menemanimu keliling-keliling. Oke?"

"Nggak oke, Dad." Aku tetap bersikeras.

Dad menggeleng-geleng, tidak habis pikir melihat aku keras kepala.

"Apa yang salah di sini?"

Mendengar pertanyaan Dad barusan aku berhenti menyusun tanktop dan memilih untuk menutup pintu. Setidaknya jika aku harus jujur tentang yang ini ... Sabina nggak boleh dengar.

"Um ... Landen?"

"Apanya?"

"Apanya yang apanya, Dad?"

"Apa yang salah padanya, sayang?"

"Ough." Aku mengerang kecil. "Dad ... kami tidak cocok ... dan kenapa Dad tidak mencarikan orang lain atau berhenti saja?"

"Kau yakin?"

"Kenapa aku nggak yakin, Dad?"

"Karena dia belum menyerah?"

"Apa?"

"Dia belum menyerah ... sayang. Biasanya mereka akan bilang menyerah pada Dad. Atau paling tidak mereka nggak akan muncul di depanmu lagi, mengerti?"

"Ti ... dak. Dad ... dia menyukai Sa-bi-na. Apa Dad nggak lihat?"

Dad malah tertawa terbahak-bahak mendengar argumenku, membuatku kesal.

"Apanya yang lucu?"

"Oh Dixie Pip ... menurutmu kenapa dia mesti nggak menyukai Sabina?"

"Dad nggak lucu." Aku ngambek, dan berakhir dengan keluar dari pintu dan nyelonong ke luar dari rumah. Yang aku tahu berikutnya aku naik trem tanpa memberitahu orang rumah dan tanpa membawa ponsel.

* * *

"Aku ... lapar." kataku pada diri sendiri.

Kota ini pada senja hari terlihat melankolis. Sementara itu aku sudah kelaparan dan berniat untuk nggak membelanjakan uangku yang hanya cukup untuk biaya pulang naik trem. Di film-film adegan tersesat sepertinya lebih keren. Dan di duniaku adegan tersesat bakal memilukan. Aku bahkan sempat berdoa agar sesorang tidak sengaja menjatuhkan makanan dari tasnya agar bisa kupungut. Namun setelah dua jam berlalu, kayaknya itu mustahil.

Hidupku nggak bakal berubah kalau aku diam di tempat. Well, kemudian aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sepanjang trotoar sambil celingak-celinguk di jalanan.

Eh?

Bocah itu lagi?

"Hai!"

Setelah menyebrang jalan aku menghambur ke arah Kellan. Kali ini aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan bahwa cewek kuliahan itu nggak ada di sekitar kami. Kellan duduk di bangku halte sambil memeluk buku gambar kecil.

Aku berjongkok di depan Kellan dan memegangi kedua lengannya yang montok.

"Jadi ... ternyata kita bertemu lagi, ya? Um ... bagaimana kalau kit—"

"Kau lagi?"

Mati aku.

"Ap—"

"Kau mau menculiknya ya ka—"

"Tidak, astaga, tidak. Aku-aku sung—"

"Janice?"

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku ... akhirnya aku merasa sangat bersalah.

"Ja-di ... ada apa ini, Janice?"

"Aku ... ak—"

"Ini yang kedua kalinya dia dekat Kellan, Natt! Di tempat dan waktu yang berbeda dan coba kau pikir sendiri kira-kira apa maksudnya jika dia nggak berm—"

"Sudah, Janice. Ayo kita pulang, oke?" kata Natt sambil mengusap kepala Janice pelan. Ia lalu menggendong Kellan di punggungnya dan sekaligus menggandeng Janice yang masih cerewet dan menuding-nudingku dengan tatapan matanya yang tajam. Bahkan ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil, Natt mesti mencium kening Janice agar dia diam.

Oh, Natt.

* * *

"Sayang, kau pulang?"

"He-em." jawabku lesu sambil mengisyaratkan agar Dad tak bertanya lagi.

Tanpa sempat makan malam aku langsung mengurung diri di kamar, mengabaikan bujukan Sabina dan ajakan Dad. Aku laper banget malah, tapi kelewat terkejut dengan apa yang telah kulihat dan kehilangan nafsu makan.

Aku bergulung di dalam selimut, mungkin hampir sejam lamanya sampai Dad dan Sabina lelah bersuara. Setelah keadaan tenang aku mengambil ponsel yang ada di laci dan mengecek folder pesan. Jauh di bawah sana ada pesan lama yang masih kusimpan. Pesan ketika malam tahun baru 3 tahun lalu.

Karena aku jatuh cinta hanya sekali. Sesederhana itu.

Hanya butuh tombol delete untuk menghapus pesan. Tapi menghapus kenangan ... entahlah.

Aku meringkuk seperti orang kedinginan. Dan hampir melompat dari ranjang saat wajah Landen tiba-tiba muncul di jendela.

"Ini sudah malam, dan kau ada di pekarangan rumahku. Ngapain?" Aku melotot padanya.

Dia nyengir dan menggodaku dengan senyuman.

"Aku akan laporkan pada Dad!" Ancamku.

"Dengan senang hati."

"Apa?"

"Mari kita luruskan," Dengan enteng dia memanjat jendela kamarku dan masuk begitu saja seperti rampok. Atau seperti pacar yang sedang menyelundup? Salahku karena nggak menutup jendela.

"Kau!"

"Oh ya, aku."

Melompat ke dekat nakas aku buru-buru mencari gunting dan menodongkannya seperti pistol.

Landen berlagak pura-pura takut sambil mengangkat kedua tangannya. Dia lalu menunduk dan merebahkan ranselnya di lantai. Dengan sebelah tangan terangkat dan yang satunya bebas dia mengeluarkan kotak stereofoam dari sana, juga sebotol sari apel.

Glek!

"Jangan ge-er. Aku hanya disuruh ayahmu mengantar makanan, tahu." Dia tersenyum simpul sambil menaruh keduanya di atas ranjang.

Mukaku langsung berubah masam.

"Oh, ya, kenapa kau repot-repot mengiyakan?"

Landen menggaruk-garuk jenggot khayalan di bawah dagunya. "Um ... mungkin karena kau gila?"

"Hei!"

"Ha-ha-ha. Ayolah, Pip, sudahi tingkah kekanakanmu ini dan cepat makan!"

"Jika aku tidak mau?"

"Um ... mungkin kau ingin aku berada di sini sepanjang malam?"

"Kau kurang ajar!"

"Kau kurang waras?"

"Landen Reed!"

"Dixie Pip sayang!"

Aku bersumpah bahwa di cermin mukaku sudah terlihat merah. Dan Landen memperparahnya dengan cara memandangiku dengan cengiran yang semakin lebar.

"Grogi, Pip?"

"..."

"Ah, baik, baik, aku bakal keluar."

Landen berjalan ke dekat jendela. Dia menoleh sebentar ke arahku lalu mengedipkan mata.

"Ternyata mengerjaimu itu ... menyenangkan juga."

Seperti apa dia muncul, seperti itulah dia pergi: meninggalkanku yang sudah malu luar biasa.

Sialan, dia mengerjaiku.

Dan malam itu aku pun tersadar bahwa aku telah kehilangan separuh rasa tidak enak yang tadi kubawa pulang.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES