Kamis, 05 Juli 2012

Behind The Mist (2)


Kenneth's Day

"Dua hari."

"Hm?" Nona Shawn berhenti menyiram tanaman. Ia menoleh padaku dengan raut wajah bingung, "Apanya yang dua hari?" tanyanya dengan nada tak mengerti. Ia lalu kembali menyiram tanaman. Dan beruntung, muskari biru milik Kimberly disiram juga olehnya. Menyebalkan.

"Jadi apa?"

"Eh?"

"Dua hari."

"Oh, ini... tentang Kenneth. Kau tahu kan bahwa sudah dua hari ini ia tak keluar dari basement?"

"Ya, kita semua tahu. Lalu apa? Kau khawatir begitu?"

Aku mengangguk. Ia benar, aku khawatir dan penasaran tentu saja. Aku khawatir Kenneth masih marah—atau bahkan dendam—tentang kejadian malam itu. Dan mungkin juga ia telah sadar bahwa salah satu barang miliknya ada padaku lalu ia pun mengurung diri saking marahnya. Bahkan kemungkinan terburuknya bisa saja ia frustasi lalu—

"Nona Shawn! Bagaimana jika ternyata dia bunuh diri?" ucapku histeris.

"Dan bagaimana jika ternyata ia akan menonjokmu setelah kau masuk ke sana?"

"Itu, mm... Jamie?"

"Dia tak ada di rumah, Liz. Dia pergi pagi-pagi sekali, saat kau masih tidur. Lagipula mana mungkin Kenneth mau percaya untuk yang kedua kalinya. Jangan berpikir yang aneh-aneh!" gerutu Nona Shawn.

Aku mendengus pelan, "Kau benar, pikiranku aneh. Tapi aku penasaran dan—"

"Berhentilah jadi gadis yang selalu penasaran Elizza Bentley! Rasa penasaran bisa saja membunuhmu. Dan ibumu takkan pernah mengharapkan itu." Nona Shawn berang. Mata cokelatnya berkilat memancarkan kemarahan. Aku bergidik ngeri melihatnya.

"Err... kurasa aku lapar." bualku cepat, berusaha untuk menghindari tatapan Nona Shawn yang mengerikan. Tanpa menunggu respon darinya, aku buru-buru bangkit dan segera masuk ke dalam rumah.

Eh?

"Cars? Apa yang ka—"

"Aku harus memeriksanya, Liz. Ada suara aneh dari dalam." potong Carson. Ia tengah berdiri di anak tangga keempat menuju basement. Dan dari air wajahnya kurasa ia tak sedang bercanda. Ia benar-benar akan masuk ke sana, wilayah teritorial Kenneth yang berbahaya.

"Baiklah, aku akan berjaga-jaga di sini." putusku sambil berjongkok di mulut tangga.

Carson mengangguk setuju, lalu turun ke bawah. Lama kelamaan sosoknya pun menghilang di bawah sana. Aku bahkan tak dapat melihat apa-apa dari atas sini meskipun saat ini masih pagi. Sudah kubilang kan kalau basement itu gelap?

Baru saja aku hendak bangkit untuk mengambil segelas air di samping bak pencuci piring, tubuhku refleks berbalik kembali ke arah mulut tangga ketika mendengar suara umpatan Carson dari dalam basement.

"Cars?" panggilku keras, "Kau baik-baik saja?"

Ia mengumpat sekali lagi, "Cepat kemari, Liz!"

* * *

Aku masih bisa mengingat dengan jelas wajah Kenneth saat Carson memapahnya menuju mobil. Wajah yang pucat dan terlihat sangat ketakutan. Oke, itu konyol mengingat seharusnya kamilah yang takut saat melihatnya. Tapi memang begitulah adanya. Dan yang paling parah, sekujur tubuhnya banjir keringat. Tentu saja itu salahnya. Siapa yang menyuruhnya berdiam diri di tempat pengap selama dua hari?

Aku?

Tentu saja tidak.

Tapi saat ini setidaknya aku tak terlalu khawatir karena Kenneth ternyata tidak bunuh diri seperti yang kupikirkan. Namun malah Nona Shawn-lah yang tampak khawatir. Ia begitu gelisah. Sesekali ia memencet serangkaian tombol di ponselnya lalu menjauh dariku dan menelpon seseorang di ujung ruangan.

Setelah selesai menelpon, ia kembali duduk di sampingku lalu mendengus keras-keras.

"Siapa yang kau telpon? Kenapa begitu serius?" tanyaku iseng.

"Ibumu," ucapnya dingin, "kau tau tidak dia marah padaku? Malah aku disuruh menelpon orangtua Kenneth. Sungguh merepotkan." lanjutnya.

"Mm... iya. Anak-anak SMA seperti mereka memang merepotkan. Tapi kenapa ibu marah padamu, hm?"

Nona Shawn mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Heh, kau kira ibumu menyuruhku tinggal di pondokan cuma untuk menemanimu?"

"Jadi?"

"Ia menitipkan kalian padaku. Berarti kalian semua adalah tanggung jawabku. Kalau sudah begini siapa yang akan disalahkan, hah?" keluh Nona Shawn. Ia lalu menonaktifkan ponselnya dengan geram. Kemudian bangkit lagi dan malah mondar-mandir di depan ruang emergency.

Aku hendak menyusulnya tapi urung karena kurasa mood-nya sedang buruk. Mengganggunya hanya akan menambah masalah baru.

"Heh Liz!" Carson tiba-tiba datang dari koridor barat dengan menenteng bungkusan. Ia lalu menyodorkannya di depan wajahku.

"Ssh, kau lama sekali." Aku segera mengambil dan mengacak-acak isi bungkusan itu. Dahiku segera berkerut ketika melihat isinya yang aneh.

"Permen... biskuit... roti kacang... apa-apaan ini?" protesku, "Kau kira aku anak-anak, hah?" Segera kutaruh bungkusan itu di bangku.

"Memangnya kau orang dewasa, hah?" ejeknya. Ia mengambil bungkusan dari bangku di sampingku lalu mengambil sebungkus roti kacang. Kemudian ia menyobek bagian pinggir roti yang dilapisi selai kacang dan menjejalkannya ke dalam mulut.

Aku meringis kecil. Rasanya semakin hari semakin sulit saja menghadapi anak-anak SMA ini. Banyak tingkah.

"Eh, Liz,"

"Hm?"

"Apa Kenneth punya pacar?"

Aku menatapnya tak percaya, "Demi tuhan! Cars, apa itu penting?" tanyaku kesal. Bisa-bisanya ia membahas hal tidak berguna disaat nasib Kenneth pun masih tidak jelas.

"Entahlah. Tapi mungkin saja ia sedang ada masalah dengan pacarnya sampai-sampai ia beg—"

"Lalu apa masalahmu, Cars?" tanyaku dengan nada tinggi.

Ia terdiam begitu menyadari perubahan pada raut wajahku, segera ia membuang muka ke arah lain. Mungkin ia mual melihat wajahku saat marah. Terserah deh.

* * *

Rembulan lagi.

Namun kali ini tanpa awan-awan kelabu yang mengganggu. Hanya ia dan langit. Dan mataku tak menangkap satu bintang pun di sana. Jelas menggambarkan bahwa rembulan akan jadi penguasa tunggal malam ini.

Ditemani secangkir frappe, aku termenung di bawah kanopi yang menaungi serambi depan, menunggu Jamie pulang. Karena aku hanya sendirian di rumah. Selagi semua penghuni pondokan berada di rumah sakit, aku malah duduk-duduk tenang. Dan... Ya. Aku jadi tampak seperti satu-satunya orang yang tidak peduli pada Kenneth.

Tidak, aku tak bermaksud begitu. Hanya saja tidak etis rasanya jika aku tetap berada di rumah sakit sementara Kimberly juga berada di sana. Bisa-bisa kami diusir keluar karena berdebat lagi. Jadi, lagi lagi akulah yang harus mengalah. Tidak, bukan lagi. Tapi selalu. Dan tampaknya itu akan jadi selamanya.

Sungguh malang.

Mengingat Kenneth, aku kembali teringat pada buku catatan kecil yang kuambil darinya. Aku pun bangkit sambil membawa cangkir frappeku. Jujur saja aku tergelitik untuk masuk ke basement sekali lagi. Bukan apa-apa, hanya untuk memeriksa keadaan di dalam sana. Jika memang tidak memungkinkan untuk dihuni maka sebaiknya basement ditutup, atau diperbaiki. Yah, mom juga pasti akan setuju jika kuberitahu.

Begitu sampai di depan tangga basement, aku buru-buru turun. Dan untuk kedua kalinya, keremangan basement membuatku kesulitan untuk bergerak. Terlebih keadaan basement kali ini lebih parah. Bau aneh cat air tercium di mana-mana, begitu juga dengan kanvas yang tergeletak tak karuan. Lukisan-lukisan di dalamnya lebih aneh lagi, entah itu aliran abstrak atau apa tapi aku tak dapat menangkap maksudnya. Ini benar-benar parah. Dan Kenneth tampaknya benar-benar depresi. Karena setauku tak pernah ada seniman dengan tempat semengerikan ini sebelumnya.

Oh sial!

Bulu kudukku mendadak meremang tanpa dikomando. Tak sanggup berada lebih lama di sini, aku buru-buru menginjak anak tangga pertama. Remang dan panas adalah perpaduan yang tidak serasi untuk membuatku nyaman. Kurasa aku akan berpikir dua kali jika disuruh masuk ke tempat ini lagi.

BRAK!

Aku berteriak kaget, dan langsung berbalik karena ketakutan. Dan mataku langsung membelalak begitu melihat sebuah kanvas tergeletak di kakiku. Dan dua buah kata yang kukenal tertoreh di sana dengan cat berwarna hitam.

Eleanor Dunn.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · MONOKROM | THEME BY RUMAH ES